Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Kamis, 09 November 2017

#Engkaupun Pergi Kak..

Tahun 2001 saya kehilangan kakak kedua saya yang bernama Suwarni. Dia wafat bersama seorang anaknya yang kembar. Saya masih ingat saat itu saya pulang kampung liburan akhir semester. Kak Warni sedang hamil besar. Sekujur badannya bengkak, udem istilahnya. Saat itu saya masih awam tentang kehamilan. Setelah beberapa hari saya dirumah, sayapun mulai mendengar cerita rumahnya kak Warni yang di Simpang Nangka dibakar orang. Kak Warni dan suaminya tinggal di rumah orang tua kami.

"Gorden di rumah kami baru aja selesai kakak jahit" katanya. Semuanya habis terbakar. Kak Warni sebelumnya punya usaha menjahit gorden saat dia masih gadis. Sebelumnya kak Warni pernah bekerja jadi TKI di Malaysia. Saat itu masa konflik di Pondok Baru. "Kami sering mengungsi kemasjid kalau sudah ada suara tembak-tembakan didepan rumah" kata mamak. 

Kak Warni punya ketakutan tersendiri terhadap dokter. Dari kecil kak Warni sangat jarang ke dokter. Rupanya saat dia hamil, kak Warni tidak pernah memeriksa kehamilannya ke bidan ataupun ke dokter. Dia tidak tau berapa kilo kenaikan berat badannya? Sudah berapa bulan usia kehamilannya? Kapan perkiraan kelahiran bayi mereka? Dan lain sebagainya. Banyak hal yang  membuat keluarga saya menyesal mengapa tak ada satu orangpun yang mengingatkan dia, padahal dia tinggal dalam keluarga besar kami. Kakak tertua saya sempat syok mendengar ceria kehamilan kak Warni. Muncul pertanyaan mengapa dan mengapa...

Pagi itu kak Warni mengeluh matanya agak rabun terus dia juga bilang ke saya kok matanya semakin kabur dan kepalanya pusing. Kak Warni di bawa ke bidan dan dirawat di Puskesmas Bandar semalaman. Saat itu kak Warni sudah tidak sadar, dalam ketidaksadarannya dia terus memanggil..ibu..ibu. Ibu kami sudah wafat saat kami masih kecil-kecil. Kak Warni sudah tidak bisa melihat, pembuluh darah dimatanya sudah pecah, tekanan darahnya juga tinggi. Malam itu saya dan keluarga besar kami ikut menjaganya. Saya menggenggam tangannya sambil membacakan Al-Quran disamping tempat tidurnya, dalam hati saya berharap semoga kakak lebih tenang. Kami semua berjaga semalaman.

Keesokan harinya kak Warni dirujuk ke rumah sakit Datu Beru, Takengon. Saya sendirian tinggal di rumah. 

Saat sedang shalat ashar di rumah sendirian entah kenapa saya merasa ada yang melintas dibelakang saya, refleks saya menoleh kebelakang tak ada apapun selain sepi. Saya melanjutkan shalat dengan perasaan yang tidak menentu. Tak lama kemudian telpon dirumah berdering. "Dek, kak Warni gere ara ne, denang pe alas, pora mi jenajahe sawah pake ambulan" (dek, Kak Warni sudah tidak ada, tolong bentangkan tikar, sebentar lagi jenazahnya sampai dibawa ambulan) kata kakak saya yang tertua. 

Dengan perasaan dag dig dug saya langsung memanggil tetangga dan saudara dekat rumah. Barang-barangpun dipindahkan dan diganti dengan bentangan tikar. Menjelang magrib jenazah kak Warni tiba tak lama kemudian paman dan bibi tiba dengan naik sepeda motor, bibi mengendong mayat ponakan baru kami. Mereka ditidurkan berdampingan. 

Selamat jalan kak... untuk terakhir kali saya mencium wajahnya yang tenang. Ternyata engkaulah yang paling cepat menyusul ibu kita. Semoga Allah mengampuni segala dosa dan skhilafmu, memberikanmu tempat terbaik disisinya, menjadikan kuburmu laksana taman-taman surganya serta menjadikan ponakan kami yang engkau tinggalkan menjadi anak yang sholehah. 

Tidak ada komentar: