Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Kamis, 04 Juni 2020

#Dua wanita di masa berbeda 7

Juni 2001, aku pulkam liburan kuliah. Saat itu kakak ke 3 lagi hamil besar anak pertamanya. Suatu pagi kakak mengeluh sakit kepala, seluruh badannya udem parah. Aku sempat mengambilkan makanan untuk kakak, diapun makan sedikit saja. Saat itu dia hanya ditempat tidur, aku mengepang 1 rambutnya yang tebal dan panjang. Aku memberikan buku kecil al ma'tsurat (doa pagi dan petang) kepadanya. Setelah beberapa saat, belum selesai dia membacanya tiba-tiba kakak mengeluhkan matanya mulai kabur. Akhirnya dia di bawa ke puskesmas dan dirawat di sana satu malam. Kami semua menjaganya. Malam itu tak ada yang tidur. Kakak mulai mengigau dan memanggil "ibu... Ibu.... "
Kami tentu saja berusaha menenangkannya. Saat itu waktu terasa begitu lambat. Rencana keesokan harinya kakak dirujuk ke rumah sakit Datu Beru Takengon.
Rupanya pembuluh darah di mata kakak ke 2 sudah pecah, makanya penglihatannya terganggu. Keesokan harinya langsung kakak beserta rombongan pengantar berangkat ke rumah sakit Datu Beru. Aku ditugaskan menjaga rumah. Mamak terus mendampingi kakak hingga ke Rumah sakit Datu Beru. Rupanya kakak ke 2 tidak mengetahui sudah berapa lama usia kandungannya. Dia tidak pernah memeriksakan kehamilannya lazimnya ibu hamil.
Pada saat aku sholat ashar entah mengapa aku merasa ada yang lewat di belakang ku, padahal saat itu aku sendirian di rumah. Aku terkejut dan reflek menoleh ke belakang. Tak ada siapa-siapa. Aku melanjutkan shalat dengan suasana hati yang tak menentu.
Tepatnya pukul 17.10 WIB telpon di ruang tamu berdering. "Hallo assalamualaikum", ucapku. " Waalaikumsalam, dek tolong siapkan tikar ya, kak Warni udah meninggal barusan. Jenazahnya sedang menuju ke rumah sekarang ", kata si penelpon.
Aku tak terlalu mengingat siapa yang menelpon.
Mamaklah yang mendampingi kakak dari awal sakit hingga wafatnya. Saat itu sama sekali mamak tak pulang ke rumah. Kakak ke 2 kami ini memang lebih cocok secara karakter dengan mamak.
Saat kakak telah dimakamkan, kebetulan disebelah makam kakak ke 2 masih kosong. Mamak menandai dan membuat seolah-olah tanah di makam tersebut telah ada penghuninya. "Ini nanti buat aku", ucap mamak.
Kesedihan mamak atas kematian kakak ke 2 kerap membuat mamak berlinangan air mata saat mengingat momen bersama kakak ke 2.
Setelah beberapa tahun, setiap kali lebaran tiba mamak masih saja mengingat kakak ke 2. Mamak akan mengingat kebiasaan kakak ke 2 saat lebaran di rumah kami. Lalu mamakpun kembali menangis.
Pada suatu masa, saat kakak 1 melahirkan anak bungsunya. Mamak juga yang merawat kakak pertama. Biasa mamak akan datang dan menginap di rumah anaknya yang akan melahirkan. Begitupun dengan kakak 1, padahal kakak 1 kerap menunjukkan sikap tak sukanya dengan mamak. Tapi ya begitulah mamak, wanita yang berhati lembut dan tak pendendam.
Saat kakak ke kamar mandi, dia lama tak keluar dari dalamnya. Mamakpun khawatir, benar saja rupanya kakak pingsan di kamar mandi. Serta merta mamak mengangkatnya masuk ke kamarnya.
Tahun 2008 saat aku melahirkan anak kembar di Rumah sakit Zainal Abidin. Lagi-lagi mamak bapak juga hadir. Mereka sampai dari kampung langsung ke rumah sakit naik L300. Selama 9 hari di rumah sakit mamak, bapak dan suamilah yang bergantian menjagaku. Aku sempat koma dan masuk ICU selama tiga hari. Saat itu aku pendarahan hebat pukul 00.00 WIB. Mamaklah yang membersihkan kain-kain bekas pendarahan yang seolah menghabiskan stok darah di tubuhku. Aku memerlukan 5 kantong untuk tranfusi.
"Saat umi koma, mamak terduduk berdoa sambil menangis didepan pintu ruang ICU", ucap suamiku.
Keesokan harinya saat aku tersadar, aku merasa asing dengan kamar tempat aku di rawat, kenapa beda ya? Ini di mana? Sebelumnya aku di rawat di kamar biasa tempat para ibu usai melahirkan.
Pagi itu mamak menjelaskan kalau aku tadi malam koma dan dipindahkan ke kamar ini. Kamar bercat putih dengan gorden berwarna biru muda yang menjadi penyekat antar tempat tidurnya.
Kata mamak "mamak langsung mengingat kematian kak Warni. Apa kamu akan menyusul kak Warni juga?, mamak berdoa buat kamu agar selamat. " Ucap mamak. Ya Allah mamak, aku terharu mendengarnya.
Selama 9 hari di rumah sakit mamaklah yang merawatku, menuntunku ke kamar mandi, memandikanku, menyisir rambut hingga menyiapkan makanan buatku. Bagaimana aku bisa melupakan segala kebaikannya padaku?
Bapak, ibu mertuaku, adik ke 7 dan juga suamiku. Mereka pun bergantian menjagaku. Alhamdulillah masih banyak keluarga yang sayang padaku. Saat itu akulah pemeran utamanya. Pemeran utama yang masih harus banyak bersyukur karena banyak yang berkunjung dan memperlihatkan kepedulian mereka kepadaku. Alangkah sedihnya jika saat sakit kita sendirian dan hampa. Itulah yang dirasakan almarhum mamak.
Juni 2013, aku kembali masuk rumah sakit Zainal Abidin karena harus SC anak ke 3. Lagi-lagi mamak dan bapak hadir dari kampung untuk mendampingiku. Sebelumnya aku dan suami saja yang ada di sana.
Alhamdulillah anak ke 3 lahir sehat dan akupun sehat. Bapak masuk ke ruangan pasca melahirkan. Bapak menggendong bayi kami sambil berucap "wah ini bulek ini, kulitnya putih sekali", Ucap bapak.
Bapak duduk di kursi kamar sambil mulai melantunkan surat yasin. Bapak memang telah menghafal surat yasin entah sejak kapan. Aku belum sempat bertanya kepadanya.
Aku yang saat itu terbaring di tempat tidur, hanya mendengarkan bacaan bapak hingga usai. Alhamdulillah 3 hari kemudian kami sudah diperbolehkan pulang ke rumah. Aku dan mamak yang menggendong bayi kami saat pulang ke rumah naik taksi. Lagi-lagi aku patut bersyukur atas segala nikmat kebersamaan yang tak lepas dari hidupku.
Maret 2017 kami semua pulkam ke rumah kakak ke 3 di Takengon. Saat itu kami 2 keluarga menjenguk mamak yang di rawat di rumah kakak ke 3. Aku sempat mendengar kalau mamak di rawat orang lain. Mamak memang di rumah kakak ke 3 tapi ada seorang wanita muda yang di gaji untuk merawat mamak.
Saat itu mamak tidak lagi mampu mengurus dirinya sendiri. Untuk ke kamar mandi butuh perjuangan besar. Mamak seringnya akan menumpukan semua berat badannya ke orang yang memapahnya. Kami yang berpostur tubuh kecil tentu tak akan mampu memapahnya. Mamak selalu dipakaikan pampers karena mamak tak lagi bisa mengontrol buang hajatnya.
Saat itu mamak kelihatan gembira dengan kehadiran kami yang tiba-tiba membuat rumah menjadi ramai. Mamak di pindahkan kasurnya ke ruang tamu, sebelumnya mamak hanya di kamar saja. Saat itu mamak hanya mampu duduk sedangkan untuk berdiri mamak sudah tidak mampu.
Aku sempat bertanya ke mamak "mamak ini siapa?. " Ini Nis", jawab mamak. Aku bertanya "Mamak di mana sekarang?
" Mamak di rumah Nis, kak Ila sibuk sekali dia gak pernah di rumah", Spontan mamak menjawab.
Aku sempat bingung dengan jawaban mamak. Aku juga menghadapkan anak-anak kami ke mamak. Alhamdulillah mamak masih mengingatnya. Saat itu mamak sudah jarang berbicara, dia hanya memperhatikan orang-orang disekitarnya dengan ekpresi 'entah'.
Suatu pagi bapak tiba dari Pondok Baru. Saat itu suami adek ke 5 memasak nasi goreng buat kami semua. Kamipun makan bersama dengan mamak yang di atas kasurnya. Bapak makan di depan mamak, tiba-tiba mamak mengambil nasi dari piring bapak dan menyuapkan ke mulutnya sendiri. Bapak sedikit terkejut melihat mamak yang spontan bergerak tangannya ke nasi di piring bapak.
Kami semua membiarkan mamak seperti itu. Mamak telah di batasi makannya tidak boleh kasar, tidak boleh berminyak, tidak boleh bergaram dan lain sebagainya. Pastinya mamak bosan dengan makanan yang tawar dan itu-itu saja. Mamak nampak senang pagi itu.
Menurut dokter mamak sakit gelenjar getah bening. Sebenarnya kamipun bingung mamak sakit apa. Diagnosa dokter tak ada yang sama mengenai penyakit yang mamak derita. Suatu masa kakak ke 3 mengenal dokter yang katanya menjual obat-obatan herbal yang bisa di beli secara bertahap karena harganya yang lumayan mahal. Obat-obatan herbal cina dan ada juga pil yang ukurannya jumbo dan banyak sekali. Aku melihatnya aja ngeri. Bagiku dan suami cara pengobatan dokter ini agak aneh. Dia menggunakan media telur untuk mengambil penyakit mamak. Mamak juga disarankan membeli alat terapi yang tak pernah kami lihat bagaimana model alatnya. Kakak ke 3 sangat memuji kemampuan dokter ini. Katanya banyak yang telah sembuh. Beberapa bulan kemudian dokter tersebut sudah raib dengan puluhan pasien yang bertanya-tanya ke mana sang dokter. Kabar terakhir dokter tersebut merupakan seorang penipu.
Rupanya masih ada orang yang berhati sakit yang memanfaatkan harapan kita untuk berikhtiar menolong orang-orang terkasih kita. Penipuan berkedok pengobatan herbal dan memakai media telur.
Buat teman-teman semua waspadalah.
Saat mamak di Banda Aceh kami juga pernah membawa mamak ke tabib yang meramu sendiri obat-obatannya. Kata pak tabib, tulang ekor mamak yang sebelah kiri sudah berpindah tempat.
Saat itu pak tabib bertanya "ibu pernah jatuh ya?, "gak" spontan bapak menjawab.
Mamak menjawab "iya pernah, dulu saat di Tanah Suci, bangun dari shalat. " O pantaslah kata pak tabib.
Kami disarankan untuk membeli obat dan minyak buat mamak yang akan di ramu oleh pak tabib. Saat itu suamiku langsung mengiyakan harga obatnya yang lumayan mahal. Dialah yang menjemput dan membayar obatnya. Tapi sepertinya mamak tidak rutin meminum obat dan minyak yang harus dioleskan di punggung mamak. Mamak seringnya lupa minum obatnya karena tak ada yang mengingatkan.
Terakhir kondisi mamak semakin drop. Mamak tak lagi menunjukkan respon yang seharusnya.
April 2018, mamak di rujuk ke rumah sakit Zainal Abidin. Episode akhir dari kehidupan mamakpun semakin dekat.
Bersambung

#Dua wanita di masa yang berbeda 6

Apakah kami anak-anak bapak mamak pernah mengajak mamak tinggal bersama salah satu dari kami?
Awalnya mamak selalu menolak katanya "nanti kasihan bapakmu gak ada yang mengurusnya." Padahal siapapun yang melihat kondisi mamak mereka akan berpikir kebalikannya. Siapa yang sakit siapa pulak yang di jaga. Cukup lama mamak kukuh dengan pendiriannya. Tapi lama kelamaan kondisi mamak makin sengsara dan menyedihkan. Bapak, suami yang sangat tidak peka dengan kondisi fisik dan kejiwaan mamak. Bapak masih saja mengajak mamak ke kebun dengan mamak yang jalanpun sudah susah, alasan bapak "mamakmu cuma metik labu jipang dan duduk aja. " Tentu saja kami semua tidak percaya. Sering kami mengingatkan bapak agar lebih perhatian dengan kondisi mamak. Tapi semua omongan kami hanya angin lalu saja. Hingga pernah mamak di ajak ke rumah bibi yang merupakan kakaknya bapak. Bibi melihat mamak yang turun dari mobil dengan terseok-seok, bibipun iba. Bibi berkata ke pada bapak "kamu ya, ada istri yang baik buat semua anakmu kamu sia-siakan, kita dulu ada kek gini ine kita? Ine kita dulu yang ada mulut cabe rawitnya. Kamu ingatkan kek mana ine kita memperlakukan kita?. "
Kira-kira itulah inti omongan bibi yang jika diterjemahkan dari bahasa Gayonya. Apakah bapak tergerak hatinya?. Waalahu a'lam. Aku seringkali geram mendengar cerita adek atau kakak tentang bapak. Beberapa kali aku menelpon bapak untuk menanyakan kondisi mamak. Saat itu mamak sudah susah jika diajak ngomong langsung apalagi via HP. Seringnya bapak bilang mamak di rumah. Aku tentu saja gemas dengar jawaban bapak. "Pak, bapak kek mana kan, mamak sakit kek gitu bapak tinggal. Cobalah bapak lebih perhatian ke mamak. Mamak butuh kasih sayang bapak. Bapak jangan cuma bawa mamak ke dukun. Dukun tu cuma bisa nambah penyakit mamak. " Panjang lebar aku ngomong seringnya bapak cuma jawab "iya.. Iya. "
Beberapa kali aku mendengar dari adik-adik kalau bapak sering membawa mamak ke dukun kata bapak "mamakmu ni banyak kali jinnya. " Eh iya ke.. Apa gak terbalik. Pernah bapak membawa kulit ular besar ke rumah dan mamak diberi selimut kulit ular besar. Kebetulan saat itu bibi mampir ke rumah, dia sempat terkejut melihat kulit ular besar di ruang keluarga rumah kami. "Eh apa ni kak? "Kulit ular, kata abangmu ni biar aku cepat sembuh inilah obatnya. " Bibi tentu saja mencak-mencak dalam hatinya.
Begitulah bapak kami sangat susah di ajak menjauhkan diri dari dukun. Aku kadang bertanya ke bapak. "Pak memang dukun tu hebat kali kan?", " Banyak yang udah sembuh pulang dari situ", jawab bapak.
"Memang dukun tu kek mana hidupnya pak, dia alim, makmur kaya raya kan?". " Biasa aja hidupnya" , jawab bapak. Itulah bapak ni percaya kali sama dukun kalau dia hebat pasti hidupnya makmur kaya raya, ini hidupnya aja tak jelas, pak kalau kita ke dukun trus kita percaya itu sama aja kita sudah syirik menduakan Tuhan. Kalau kita datang ke dukun aja sholat kita bisa gak diterima selama 40 hari, kan bahaya tu pak", "iya... Iya", jawab bapak. " Bapak ni kek manakan jangan cuma iya iya aja tapi bapak gak berubah". Kalau sudah aku ngomong panjang lebar biasa bapak cuma diam, aku gak bisa melihat bagaimana ekspresi wajahnya. Ya sudahlah yang penting aku sudah mengingatkan. Bapak mau ikut atau gak itu urusan bapak lagi dengan Tuhan.
Urusan dukun memang amat susah dihilangkan dari bapak. Belum lagi kalau bapak sudah bergaul dengan teman-teman yang percaya dukun, bisa dipastikan makin banyak koleksi dukun kenalan bapak. Bapak sudah tau kami pasti tak ada yang percaya sama dukun. Bapak akan menghindar jika aku singgung tentang dukun. Dukun itu tarifnya suka hati pada umumnya, sedangkan dokter tarifnya pasti. Ujungnya-ujungnya tak lepas dari duit juga.
Bapak begitu takut jatuh miskin. Entah kejadian apa di masa lalu yang bisa membuat bapak seperti itu. Yang aku pernah dengar bapak bilang "Dulu nenekmu bilang, kamu kan orang melarat gak mungkin bisa jadi orang kaya. " Kata-kata ibu mertua bapak itulah kayaknya yang tertanam di alam bawah sadar bapak. Ketakutan berlebihan terhadap kemelaratan. Akhirnya bapak sangat hemat biarpun uang ditabungan dan kekayaan yang dimiliki bapak lebih dari cukup.
Tapi bapak masih saja terlalu khawatir. Yah kami tidak tau bagaimana kehidupan bapak selama bapak tinggal bersama ibu mertua. Kami tidak tau bagaimana nenek memperlakukan bapak di masa lalu. Bukankah tak ada yang instan, semua kita merupakan hasil dari masa lalu.
Kakak ke 3 berinisiatif membawa mamak ke seorang mantri sekaligus seorang psikiater. Mantri tersebut mencoba menyibak penyebab mamak seperti itu. Mamak pun ditanyakan beberapa pertanyaan. Mungkin untuk keperluan diagnosa awal. Di mulai dari kek mana bu anak-anak ibu? "Semua anak-anak baik", jawab mamak. "Kalau bapak kek mana bu?, maka mamak hanya diam sambil bercucuran air mata dengan derasnya.
Beberapa kali mamak di bawa ke sana. Pak mantri mencoba memberikan motivasi buat mamak. Bahwa mamak masih punya kami anak-anaknya. Pak mantri sempat berjumpa dengan bapak kami. Tapi bapak tentu saja tidak akan pernah sudi jika disalahkan. Bapak tetap kukuh bahwa bukan dia penyebab mamak seperti itu. Akhirnya mantri cuma mengatakan mamak kalian ini adalah gambaran tuanku Fatimah. Orang berkorban dengan tulus, memberikan cinta matinya pada bapak tapi mungkin cinta dan kasih yang tidak berbalas. Wallahu a'lam. Kisah mamak dan bapak hanya mamak dan bapak sendirilah yang tau bagaimana awal mulanya. Tak akan ada akhir jika tak ada awal. Tak akan ada asap jika tak ada api.
Bagiku mamak merupakan orang pertama yang mendukungku untuk bekerja. Dulu mamak amat khawatir karena aku hanya lulusan D3 komputer, sedangkan kakak dan adik mereka semua lulusan S1. Suatu masa saat ada telpon masuk dari bagian Tata Usaha Mipa kebetulan aku yang mengangkat telpon di rumah. Ada suara ibu-ibu yang mengatakan bahwa pak Dekan Mipa butuh sekretaris yang berjilbab. Kek mana kamu mau? Aku tentu saja senang sekali karena itulah tawaran pertamaku untuk bekerja. Sekretaris Dekan... gak pernah terbayang jadi sekretaris pribadi seseorang. Akupun memberikan kabar gembira tersebut ke mamak. mamak langsung antusias dan pergi ke pasar untuk membelikanku sebuah gamis ungu. Gamis yang ukurannya kepanjangan dan mamak sendirilah yang memotong dan menjahitkannya untukku. Mamak juga meminta gamis punya adik bungsu kami untuk diberikan kepadaku. Aku memang hanya memiliki beberapa potong pakaian, kalau kakak ke 3 kami bilang "bajumu kok itu- itu saja. " Aku memang begitu tidak tertarik mengkoleksi baju, aku lebih suka koleksi kaset nasyit atau koleksi buku. Semua orang tentu punya hal-hal yang disukai dan hal yang tidak disukai.
Keesokan harinya aku langsung berangkat lagi ke Banda Aceh setelah kurang lebih sebulan menganggur di rumah. Jangan ditanya betapa nyinyirnya mulut bibi ke 4 dari pihak almarhum ibu. Kebetulan rumah bibi dekat dari rumah kami. Bibi mengatakan "kenapa gak kerja, biasanya orang setelah lulus kuliah pasti dapat kerjaan kamu kok gak, ini malah nganggur di rumah.... " Aku sempat panas hati mendengar ocehan bibi. Di dalam hati aku berkata 'kita lihat aja nanti bi, Kira-kira anak bibi kalau tamat kuliah nanti langsung bisa dapat kerja apa gak. '
Ternyata beberapa tahun kemudian anak bibi lulus dan menganggur juga. Aku rasanya pingin bawa dramben besar,memukulnya dengan keras sambil berseru di depan bibi, 'Emang enak...belum tau dia'
Sabar... sabar... ini ujian...
Trus ada lagi kisah almarhum kakak ke 2 kami yang bekerja sebagai TKW ke Malaysia. Aku dan mamak serta adik tiri nomor 1 ikut mengantarkannya ke terminal Takengon. Kakak bersama rombongan TKW berangkat dengan naik bus ke Medan, dari sana barulah mereka melanjutkan perjalanan ke Malaysia. Aku ingat mamak melepas kakak yang tamat SMK dengan deraian air mata. Selama kakak di Malaysia kakak kerap menelpon rumah. Saat lebaran kakak gak bisa pulang, lontong buatan mamaklah yang selalu di ingatnya. Ada lagi adik ke 6 yang juga dapat beasiswa pemda ke malaysia setelah dia lulus S1 lagi-lagi mamaklah yang dia rindukan beserta suasana rumah kami. Akupun begitu setelah mengundurkan diri dari Sekretaris Dekan, saat di Blangkejeren mamaklah yang sering ku telpon. Seminggu sekali aku kerap menelponnya. Saat itu mamak masih sehat wal afiat. Bapak ku telpon sekedarnya saja. Kenangan bersama mamak lainnya saat kami pulkam pas sekolah ataupun pas kuliah dulu maka mamak akan menawarkan kami untuk di pijatnya. Padahal kan mamak yang lebih capek. Kami semua tak pandai memijat.
Saat masih di Blangkejeren, aku seringnya membawa kaset nasyid untuk di stel di mobil l300. Dari pada pusing dengerin musik pak sopir yang gebebang gedebung. Aku lebih memilih memberikan kaset yang ku bawa untuk didengarkan oleh semua penumpangnya. Biasanya mereka gak betah mendengarnya. Tapi jadilah dulu alhamdulillah abang sopir gak langsung menolak. 7 jam perjalanan Blangkejeren-Pondok Baru lumayan penat dan bosan.
Pernah di suatu masa pak sopir mendengar lagu maidany 'Harapan Bertepi', dia memutar ulang nasyid ini beberapa kali. Baru pertama kali ada sopir yang menghayati nasyid ini. Dulu kaset bisa di pasang di mobil, sekarang berganti MP3.
Ini liriknya 'Harapan Bertepi by Maidany'
Manusia hanyalah berusaha
Manusia hanyalah berencana
Allah lah yang menentukan
Allah lah yang memastikan segalanya
Hidup ini hanya sementara
Hidup ini hanya sandiwara
Ada kehidupan yang abadi
Ada kehidupan yang hakiki
Mari kita semai bersama
Hidup ini dengan kasih sayang
Mari kita jalin bersama
Hidup ini dengan persaudaraan
Diantara kita karena Allah
Karena Allah
Karena... Allah....
Karena Allah...
Rupanya pas ku pasang di rumah nasyid ini sangat mamak sukai. Kata-katanya menggambarkan kehidupan ini dengan segala permasalahan nya. Tapi sebenarnya ada hidup yang hakiki dan abadi.
Bersambung

#Dua wanita di masa yang berbeda 5

Aku tidak terlalu jelas cerita bapak dan mamak pergi umrah. Seingatku mamak mengirimkan oleh-oleh dari Arab Saudi via adik yang pulkam. Ada kacang Arab, coklat, peci buat ke 3 anak kami serta sebuah baju gamis untuk abinya anak-anak. Saat itu kami sekeluarga tidak pulkam. Lebaran Haji kami memang jarang sekali merencanakan pulkam. Jadwal pulkam hanya lebaran Idul Fitri, itupun bergantian pulkamnya. Jika tahun ini kami pulkam ke Bener Meriah maka kami tidak pulkam ke Idi Rayeuk kampungnya suami. Otomatis kami 2 tahun sekali baru pulkam. Saat lebaran bersama mamak di kampung menjadi saat yang di tunggu-tunggu anak-anak. Biasanya kami pulkam bareng keluarga adik ke 7 yang sama-sama di Banda Aceh. Untuk menghemat biaya dan memudahkan transfortasi selama di sana, biasa kami menyewa mobil. Aku kurang mengingat kapan terakhir kali mamak lebaran bersama dengan kondisi prima. Dulu setiap kami pulkam lebaran Idul Fitri maka mamak akan menyambut dengan gembira. Mamak akan masak lontong, rendang dan kue-kue lebaran. Malam menjelang lebaran biasa mamak masih sibuk di dapur hingga larut malam. Dan pagi buta keesokan harinya mamaklah orang pertama yang bangun. Suamiku pernah bertanya "memang mamak kapan tidurnya?". Saat mamak masih ada jika akan piknik semua perbekalan keluarga besar kami mamaklah yang menyiapkannya.
Biasanya hari ke 2 lebaran kami mengunjungi abangnya bapak dan kakaknya bapak. Kami akan berangkat dengan rombongan biasanya ada 4 mobil. Kami makan siang di rumah abang bapak di desa Arul Kumer. Otomatis rumah pak Kul (panggilan untuk abang dari bapak) akan ramai seketika. Biasanya setelah makan siang dengan tambahan bekal yang mamak siapkan dari rumah, kami akan bersalam-salaman lalu setelahnya mulai bercerita dengan keluarga Pak Kul dan Mak Kul. Mamak sangat menikmati saat-saat seperti itu, mamak terkadang tertawa hingga mengeluarkan air mata. Saat kumpul dua keluarga besar pastinya rame dan heboh. Sepulang dari Arul Kumer kami akan ke rumah bibi yang merupakan kakak dari bapak kami. Rumahnya pas di pinggir danau Laut Tawar tepatnya desa Mendale. Disana biasanya kami tidak berlama karena fokus bapak mengunjungi makam kakek yang letaknya tidak jauh dari rumah bibi. Selanjutnya ke daerah Bintang mengunjungi makam ibunya bapak kami. Tempat makamnya sangat tinggi. Biasanya semak belukar memenuhi area makam. Kami tak bisa membayangkan bagaimana sulitnya membawa mayat ke tempat itu. Konon katanya semakin tinggi letak makam seseorang semakin tinggi tingkat srata sosialnya di masyarakat.
Bapak merupakan anak bungsu dari 3 bersaudara, 1 perempuan dan 2 laki-laki. Selebihnya ada 7 orang saudara beda ibu. Kakek memiliki 4 orang istri. Istri pertama yang merupakan ibu dari bapak kami. Nenek meninggal saat bapak masih bayi. Lalu kakek menikah lagi dengan seorang wanita dengan 1 orang anak. Rupanya umur pernikahannya tidak lama, mereka bercerai dengan 1 orang anak yang tidak jelas di mana keberadaanya. Kami tak ada seorangpun yang mengenal keluarga nenek yang ini. Lalu kakek menikah lagi dengan nenek ke 3. Mereka di karuniai 7 orang anak 2 perempuan 5 laki-laki. Nenek yang ke 3 ini semasa almarhum ibu masih ada setiap lebaran Idul Fitri kami mengunjungi mereka. Rumahnya melewati jembatan sungai Kanis. Jalannya naik hingga sampai di kampung Peking. Disanalah kakek nenek tinggal. Rombongan kami akan berjalan dengan gembira ke sana. Jembatan Kanis akan bergoyang-goyang saat kami lewati. Ukuran jembatan ya mungkin hanya sekitar 1 m yang membentang panjang tanpa ada sisi kanan kirinya. Bagi yang tidak terbiasa pasti akan ketakutan melewatinya. Arus airnya sangat deras.
Kami biasanya malah akan berlari-lari diatasnya agar jembatan kayu tersebut makin berayun-ayun. Kami rombongan cucunya dengan memakai baju dan sepatu baru dengan berbagai gaya mengikat rambut. Ada yang di kepang dua, ada yang di ikat satu, bahkan ada yang di gerai saja. Kami akan berjalan bahkan berlari sambil bermain dahulu mendahului siapa yang akan duluan sampai di rumah kakek. Ibu kami biasanya selalu membawa 1 rantang nasi dan lauk untuk diserahkan ke nenek. Uniknya setiap lebaran ke rumah kakek, kami akan bingung di mana pintunya. Kakek orang yang hobi memindah-mindahkan pintu rumah. Entah apa filosofinya.
Sejak aku masuk SD nenek ke 3 ini mulai agak kurang sehat. Kayaknya penyakit kejiwaan. Nenek ini sering lewat didepan sekolah kami dengan 2 orang anaknya yang paling kecil. Biasa nenek akan berjalan cepat sambil mengomel entah apa. Anak-anak SD akan berdiri di pinggir pagar sambil bersorak "orang gila... orang gila.... " Nenek dan anaknya makin mempercepat langkah mereka karena sorakan itu. Anak-anak sekolah akan berhenti bersorak jika nenek sudah melewati sekolah hingga menghilang di ujung jalan. Aku sendiri tidak faham mengapa nenek bisa seperti itu. Mereka entah pergi ke mana.
Dengan kondisi nenek yang seperti itu akhirnya kakek tidak ada yang mengurusnya. Kakek menikah lagi untuk ke 4 kalinya. Nenek ini merupakan janda beranak 3 kalau tidak salah. Hingga akhir hayatnya kakek hidup bersama nenek ke 4. Begitulah kisah almarhum kakek dari pihak bapak.
Semasa hidupnya kakek sering mampir ke rumah. Biasanya sendirian. Kakek selalu berpakaian rapi dan memakai peci hitam. Perawakannya lumayan tinggi dan kakek tidak bungkuk, masih nampak sehat dan gagah. Biasa bapak kalau ada kakek hanya menyapa seperlunya saja "ama". Hanya itu. Aku tidak pernah melihat bapak dan kakek duduk bercerita. Benar-benar hubungan yang sangat dingin.
Ama merupakan panggilan daerah kami untuk bapak. Ine merupakan panggilan daerah untuk ibu. Tapi saat ini sudah jarang yang memanggil orang tua mereka seperti itu.
Oya kembali ke mamak kami. Mamak adalah panggilan untuk mamak tiri kami. Ibu adalah panggilan untuk ibu kandung kami.
Jadi mamak pernah bercerita kalau saat kakek sakit di rumah sakit tidak ada yang menjaganya. Jarum transfusi darahnya terlepas dan darah berceceran di lantai. Mamak bilang "bapakmu tu gak ada setianya. " Yah begitulah sekilas kisah kakek. Kakek meninggal di rumah sakit Datu Beru dan pemakamannya di urus oleh kakak bapak yang paling besar. Aku yakin saat itu bapak pasti tidak menangis.
Apakah mamak pernah merasakan kegembiraan? Tentu saja pernah. Mamak senang sekali kalau kami ajak jalan-jalan. Kelurga besar kami biasanya piknik tu di hari ke 3 lebaran, mamak akan menyiapkan bekal kami terima beres saja. Seringnya kami piknik ke danau laut tawar. Sebelum pergi membeli ikan mujahir untuk di akar di tempat. Biasanya saat para menantu lelaki membersihkan ikan, kami para istri akan menyiapkan rujak ataupun sambal terasi dan rebusan labu jipang, wortel dan daun ubi. Selagi menunggu biasanya anak-anak akan mulai main air akhirnya mak-maknyapun ikut masuk ke air, alibinya menemani anak padahal memang pingin mandi di danau. Saat itu biasanya bapak dan mamak duduk di atas tikar di pinggir danau sambil ngemil dan memandangi kami yang main air dengan hebohnya. Senyum ceria terpampang nyata di setiap wajah. Giliran selesai mandi maka perutpun minta diisi. Jadilah kami makan bersama terkadang sambil bercanda dan rebutan ikan bakar yang gurih dan mengundang selera ditambah keindahan danau. Itulah salah satu nikmat di dunia.
Saat bapak mamak mengunjungi kami di Banda Aceh. Biasanya mereka juga datang rombongan naik mobil. Kamipun akan merencanakan jalan-jalan ke mana kita. Seringnya ke masjid raya, ke pantai dan tak lupa makan di cafe. Inilah momen saat mamak bahagia. Momen menikmati hidup dan kebersamaan keluarga. Momen saling bercerita dan bercanda.
Kapankah mamak bersedih? Jika kami akan balik ke Banda Aceh. Mamak akan memeluk kami semua serta melepas kami dengan deraian air mata. Kami berpamitan dengan menyalami mamak dan bapak. Saat itu mamak akan bercucuran air mata. Mamak akan memandangi kepergian kami hingga menghilang di ujung jalan. Rumah bapak mamak kembali sunyi dan sepi. Yah suatu saat nanti pasti kitapun akan merasakan moment seperti itu. Bukankah hidup ini akan bergulir dan berulang kejadian demi kejadian.
Pada suatu masa kakak menelpon katanya mamak kena struk, mulut mamak agak miring dan tangan kanan mamak juga menjadi kaku hingga mamak kesulitan saat makan. Saat itu mamak terpukul dengan kondisinya yang drop. Bapak bukannya menunjukkan rasa empatinya. Bapak malah membully mamak, "apa ni macam anak kecil", spontan bapak berucap. Tentu kakak pertama yang mendengar protes, kenapa bapak kayak gitu?.
Saat itu masih ada orang yang menemani mamak, bapak sudah berkata seperti itu entah lagi jika di rumah hanya ada mamak dan bapak saja mungkin akan keluar 'kata-kata mutiara yang lebih indah'. Mamak seringnya ditinggal sendirian di rumah. Bapak pergi entah ke mana bersama teman-temannya. Aku terkadang menelpon kata mamak dia lagi masak. Makin lama kondisi mamak semakin memburuk. Kaki mamak berlahan agak susah di bawa jalan, otomatis mamak jalan dengan terseok-seok dan kakinya agak diseret. Setelah di terapi mulut mamak tidak lagi miring, tapi sebelah tangan dan kakinya masih belum pulih. Makin hari badan mamak bertambah kurus. Mamak masih saja memaksakan diri untuk mengurus dirinya juga mengurus keperluan bapak. Saat itu kami sibuk dengan urusan keluarga kami masing-masing. Mungkin saat itu di hati mamak mulai muncul rasa tidak berguna dan rasa tidak lagi dibutuhkan. Kondisi mamak terus menurun hingga harus di rawat di rumah sakit Simpang Tiga Bener Meriah lalu di rujuk ke Rumah sakit Datu Beru. Saat itu tubuh mamak sudah kurus kering tak ada harapan yang optimis pada pandangan matanya. Mamak mulai meremas-remas ujung pakaiannya, seakan-akan ingin merobeknya. Bibi yang kebetulan menjaga mamak bertanya "Kenapa kakak robek pakaian kakak?.
" Nanti ada anakku belikan yang baru", jawab mamak.
Sebenarnya kata ibu mertuaku, jika ada orang yang sudah mulai merobek pakaian yang dia pakai itu merupakan pertanda bahwa kematiannya sudah dekat. Aku baru mengetahui hal semacam itu saat mamak sudah tiada.
Bersambung...

#Dua wanita di masa yang berbeda 4

Tahun 1997 saat aku kelas 1 SMU mamak melahirkan anak ke 5. Seorang bayi perempuan yang cantik. Kami saat itu sempat komplen. Kata mamak biarkan mamak punya anak 2 saja. Kami sempat debat kusir memakai bahasa Inggris, aku, adek ke 5,6 dan kakak ke 3. Kakak ke 3 mencoba menjelaskan ke kami semua. Debat kusir itu kami lakukan di lantai 2 rumah kami, ketaknya pas di atas kamar bapak mamak. Mamak saat itu pasti mendengar riuhnya suara kami yang saling sahut menyahut. Intinya kakak ke 3 mengajak kami untuk mengerti kondisi mamak. Diapun pasti ingin punya anak kandungnya sendiri. Sebelumnya sudah ada anak ke 4, seorang anak perempuan menggemaskan yang usianya sekitar 6 tahun kalau tidak salah.
Kami sengaja memakai bahasa Inggris agar mamak tidak mengerti apa yang kami bahas. Saat itu kakak ke 3 sedikit banyak sudah belajar ilmu agama di rohis sekolahnya juga di kampus teknik tempat dia kuliah saat itu. Sementara aku juga mulai belajar ilmu agama di rohis sekolah. Sejak SMU kakak ke 3 sudah memakai jilbab. Akupun tidak lagi bongkar pasang jilbab saat masuk SMU. Kami sama-sama belajar dengan jalan kami masing-masing. Adik ke 5 dan ke 6 saat itu SMP kelas 3.
Mamak kami merupakan anak ke 4 dari 7 bersaudara itu kalau saya tidak salah mengingat. Termasuk keluarga pindahan dari Jawa. Jelasnya aku juga kurang tau. Saat itu hanya nenek yang masih hidup. Aku sempat beberapa kali ke Aceh Timur kampung mamak beserta keluarga besarnya. Yang ku ingat kami naik bus besar arah Medan, lalu berhenti di Langsa terus naik sepeda motor masuk ke dalam cukup jauh juga. Jalannya masih belum beraspal. Di kanan kiri ada kebun, sawah, rumah penduduk yang masih jarang-jarang. Saat itu aku masih SMP kalau tidak salah, aku kayaknya hanya 2 kali ke sana. Sesampainya di kampung mamak kami disambut nenek, para bibi dan om. Aku ingat saat hujan masih banyak pacat di jalan kampung yang berlumpur kuning, lengket dan di tumbuhi rerumputan yang tidak terlalu tinggi seperti rumput-rumput di lapangan bola pada umumnya. Saat itu sambutan mereka cukup baik, ada anak-abak kakak mamak yang usianya agak sebaya denganku dan adik-adik. Kami biasanya bergantian pergi ke kampung mamak. Jaraknya cukup jauh terlebih masalah biaya juga. Saat itu ada pohon belimbing segi di belakang rumah nenek. Kami tentu saja belum pernah melihatnya. Adik-adik mamak sedang mengupas pinang dengan parang, karena penasaran akupun ingin mencoba mengupasnya. Ternyata tanganku tersayat jari telunjuk sebelah kanan. Nenek langsung panik. Aku biasa saja masih jaga image karena baru kenal. Nenek mengambil sarang laba-laba yang putih bersih dari atap rumbia dapur rumah mereka, lalu membalut jariku dengannya. Ajaibnya lukanya lumayan cepat sembuh. Zaman dahulu orang-orang selalu bisa memanfaatkan apapun yang telah sediakan alam. Beda dengan saat ini.
Kendala di sana, air bersih susah di dapatkan. Mereka mengambil air di sumur berlumpur, airnya kuning dan jalan menuju ke sana berlumpur dan jika musim hujan dipastikan akan becek dan lengket di sandal yang kita pakai. Kami di ajak ke sawah nenek. Sawahnya tidak terlalu jauh dari rumah. Ada juga ladang kedelai milik nenek. Di sana pohon-pohon masih lumayan rimbun dan tinggi-tinggi suara monyet bersahut-sahutan di atas pohon.
Katanya buah-buahan sering dihabiskan oleh kawanan monyet. Banyak hal baru yang kami dapati di sana. Tentunya beda daerah beda pula adat, bahasa dan kebiasaan masyarakatnya.
Kami di kampung nenek tidak pernah berlama-lama. Terlebih jika pergi bersama bapak maka paling lama 1 minggu di sana. Oya akses pendidikan di sana juga agak susah. Makanya mamak tak tamat SD, mungkin hanya sampai kelas 2 saja. Mamak tidak terlalu pandai membaca dan mengajinyapun masih terbata-bata. Tapi niat mamak untuk belajar patut di acungi jempol. Mamak mulai ikut pengajian bakda Jumat di kampung kami. Entah bagaimana metode mengajinya aku tak pernah ikut melihatnya.
Saat tamat kuliah aku sempat pulkam sekitar 1 bulan lebih. Otomatis waktuku full di rumah saja sambil membantu mamak menjaga kios diruangan depan rumah. Seringnya aku sambil menulis buku harian ataupun membaca Al-Quran. Saat itu mamak cukup sibuk dengan urusan rumah tangga dan mengurus adik tiri kami. Aku pernah mengajarkan mamak membaca Al-Quran. Mamak sangat senang, banyak bacaan yang masih keliru.
Mamak bilang "itulah susahnya kalau udah tua baru belajar."
Mamak kesulitan mengucapkan makharizul hurufnya terlebih logat bawaannya.
Waktu mamak untuk belajar terbatas. Banyak hal yang mamak urus kadang aku bertanya, "Mamak gak capek?, Yah mau kek mana lagi beginilah kalau kita perempuan. Nanti kalau kamu menikah gak usah dengan lelaki suku sini ya, sama yang lain aja. Memang kenapa mak?, "Lelaki di suku kita ini kurang mengerti perempuan maunya terima beres saja, kalau kita sehat bisalah tapi kalau kita sakit mereka bakal sia-siakan kita. "
Begitulah kurang lebih penuturan mamak kami. Dia sudah merasakan bagaimana bersuamikan laki-laki suku kami. "Orang Jawa lebih mengerti istri. " Ucapnya.
Aku yang memang belum menikah, saat itu masih mencoba mencerna ke mana arah pembicaraan mamak. Saat itu karena aku belum bekerja belum ada niat untuk menikah. Begitupun harapan mamak kami, "Jangan hanya mengharapkan uang dari suami katanya. Kalau kita punya uang sendiri kita lebih enak", begitu kata mamak.
Saat itu mamak mulai sering bercerita. Mamak yang energik, ceplas ceplos kalau ngomong, dia juga orang yang tak pandai mengolah kata. Apa yang ada di hati itulah yang dia ucapkan.
Aku belajar banyak dari mamak, tentang kesabaran, kesedihan, pengabdian yang tulus, pikiran yang polos. Pernah aku bertanya kenapa mamak, "Menapa mamak bisa sabar menghadapi bapak?, kami aja yang anak kandungnya lebih memilih melarikan diri dari pada berlama-lama tinggal bersama bapak", begitu ucapku dengan berapi-api.
Banyak hal yang gak sejalan dengan prinsip dan cara berpikir bapak. Saat kami belum punya penghasilan sendiri apapun perintah bapak itu mutlak. Jika membantah bapak kena 'joreng' yaitu lirikan mata yang menampakkan kemarahan. Bapak juga bisa menceramahi kami panjang lebar. Bapak tidak suka kami bermalas-malasan, bergaul bebas dengan laki-laki, memotong rambut, memakai celana jin, keluyuran tak tentu arah, memakai baju ketat, rok pendek. Jika melanggar siap-siap kena marah dan kena joreng. Hal yang paling kami takuti saat itu.
Itulah bapak kami. Saat itu kami umumnya semua patuh. Pernah suatu masa saat aku pulkam bapak ngomong ke mamak "bilang sama si Warni apa gak ada lagi teman perempuannya?", saat itu kakak ke 2 di antar pulang oleh seorang laki-laki dengan mengendarai sepeda motor. Mereka parkir di depan rumah. 'Habislah kau Mael'.
Kakak ke 2 ini merupakan orang yang kemayu, jarang ngomong dan belum berjilbab. Sedangkan kami saat itu sudah mulai berjilbab dan memakai rok panjang walaupun di rumah. Awalnya bapak malah menyuruh kami memakai kain sarung, kami mana pandai memakai nya. Alhamdulillah bapak mendukung kami berjilbab dan menutup aurat. Mamakpun mengikuti jejak kami.
Sejak saat itu anak bungsu mamak yang masih TK memang tak pernah lagi membuka auratnya. Semoga bisa istiqomah sampai akhir usia ya adek manis.
Bagi diriku sendiri bapak punya kenangan manis di masa kecilku. Aku anak yang sering di bawa bapak menonton bola saat masih belum sekolah. Biasanya aku didudukkan di tangki minyak yang letaknya di depan sepeda motor bapak. Saat itu hanya aku sendiri anak perempuan dilapangan bola. Bapak juga pernah mengajak aku dan adik-adik hingga ke Samar Kilang naik mobil truk. Kami senang sekali. Bapak akan menjelaskan kepada kami nama daerah yang kami lewati. Pernah aku dan bapak terjatuh dari sepeda motor, aku yang di bonceng di belakang kakiku terbakar knalpot sepeda motor. Lukanya membekas di kaki hingga saat ini.
Jadi sebenarnya bapak itu sayang pada kami semua dengan cara tersendiri. Semoga bapak panjang umur, diberikan kesehatan, dibukakan pintu hati untuk berhaji dengan niat yang suci, diberikan keberkahan usia dan keberkahan rizki, diselamatkan dunia dan akhiratnya.
Bapak sosok yang mulai menua. Bapak saat ini merupakan hasil masa lalu yang kami semua tak tau bagaimana kisah hidupnya. Bagaimana masa kecilnya, bagaimana pola asuhnya, siapa panutan hidupnya. Banyak hal yang seharusnya kami ketahui tentang bapak. Tapi tentu tak ada masa terlambat untuk belajar memahami orang tua sendiri.
Masa-masa pulkam saat aku di SMU merupakan masa yang menyenangkan. Masa bercerita apapun ke mamak. Kisah hidup di perantauan. Kami yang kurang kompak dengan kakak ke 3 dan lain sebagainya. Pokoknya puas-puasin cerita. Mamakpun mulai memberikan masukan kepadaku.
"Tidak boleh menanam kebencian untuk bapak, saudara-saudara dan siapapun juga, bagaimanapun bapak tetaplah bapak kita, saudara tetaplah saudara kita bagaimanapun keadaannya."
Kata-kata itulah yang sering mamak ulang saat aku sudah berkeluh kesah. Tapi itu dulu sebelum mamak sakit secara perlahan tapi pasti.
Awalnya tahun 2012 mamak dan bapak berangkat umrah. Entah bagaimana kejadian di sana.
Bersambung...





#Dua wanita di masa yang berbeda 3

Suatu masa saat kami pulang sekolah, adik bungsu kami nangis kencang. Dia minta sesuatu tapi mamak gak ngerti dia minta apa. Saat itu adik bungsu kami mulai belajar berbicara dalam bahasa daerah kami. Mamak kami sama sekali gak mengerti apa maunya. Adek bungsu kami adalah anak tiri yang dibesar kan ala anak kandung oleh mamak kami. Bukan hanya dia tapi kami semua juga diberlakukan sama. Banyak perbedaan kami dan mamak, tapi mamak bisa menghadapi. Mungkin di awalnya semua merasa bagimana sulitnya berinteraksi dengan keluarga inti dengan berbagai tingkah laku, pola pikir, kebiasaan, sifat yang semuanya berbeda. Saat ini jika aku bayangkan posisi saya seperti posisi mamak saat itu mungkin akupun akan menyerah sebelum berlaga.
Itu baru tantangan dari kami Anak-anak tiri sejumlah 7 perempuan dan 1 laki-laki. Jika abang pertama kami mungkin awalnya dia lebih dekat ke nenek dari pihak almarhum ibu. Bagaimana tidak dia adalah cucu laki-laki pertama di keluarga besar nenek. Almarhum ibu kami merupakan anak pertama 7 bersaudara, 5 perempuan dan 2 laki-laki. Salah 1 anak laki-laki nenek meninggal saat kecil. Otomatis aku gak kenal. Diantara semua Anak-anak nenek almarhum ibu kami termasuk anak yang gak neko-neko. Rumah kami sering dijadikan tempat berkumpul para bibi dan paman.
Oya, setelah ibu wafat sebenarnya bapak pernah meminta bibi yang merupakan adek bungsu nomor dua untuk menggantikan almarhum ibu. Akulah yang diutus bapak untuk menyampaikan surat dalam kotak korek api. Saat itu aku belum terlalu faham urusan orang dewasa. Tapi bibi tidak membalasnya. Bagi mereka (adik-adik almarhum ibu) bapak kami sudah selayaknya abang kandung saja. Pas ibu menikah dengan bapak, bapak tinggal di keluarga besar nenek. Istilah di daerah kami 'angkap' yaitu suami yang tinggal di rumah pihak wanita. Umunya perempuan yang tinggal di rumah laki-laki. Jadi bapak kami tentu saja yang selalu ada disekitar keluarga inti nenek.
Saat mamak masuk ke keluarga besar almarhum ibu kami. Alhamdulillah para bibi dan paman juga ipar yang lain menyambut dengan panggilan kakak. Jika dilihat dari usia mamak rata-rata jauh lebih muda dari usia mereka. Yang lebih aneh lagi adik ipar almarhum ibu sering kerumah kami. Hal ini sempat membuat bapak cemburu berat.
Kami merupakan keluarga besar dengan adik/kakak/abang sepupu yang umurnya rata-rata sebaya. Kalau sudah dikumpulkan semua cucu nenek tak ruangan di rumah karena ramenya. Rata-rata mereka punya anak 3 hingga 8 orang. Pokoknya heboh kalau udah ngumpul. Begitu juga para bibi heboh kalau sudah berkumpul.
Yah lagi-lagi banyak orang tentu beraneka ragam pula sifat dan tabiatnya. Dan itu semua mampu mamak hadapi dengan baik.
Setelah mamak hadir di rumah kami, maka akupun mulai didaftarkan masuk Sekolah Dasar. Saat itu tentu saja aku sangat senang. Aku telah lama ingin sekolah. Aku bayangkan sekolah itu penuh tantangan, ada naik kelas. Dalam pikiranku naik kelas itu kita semua berlomba naik ke atap kelas yang di susun ala rumah dari papan. Semua berlomba untuk sampai ke atas kelas. Eh rupanya bukan kayak gitu.
Aku merupakan anak yang dipaksa mandiri karena keadaan. Jika anak SD kelas 1 sekarang semua di urusin, maka aku semua urus sendiri. Mulai dari menyisir rambut yang di keluarga kami sudah dibiasakan memanjangkan rambut sedari usia dini. Kalau tidak biasa menyisir rambut panjang dan tebal itu susah juga. Urusan memakai seragam sekolah itu bukan hal yang sulit bagiku. Bapak yang mengantar aku ke sekolah dengan sepeda motornya. Anehnya bapak tidak terlalu mengingat kapan jelasnya tanggal dan tahun lahirku, mungkin karena aku anak ke 5 dari 8 bersaudara jadi susah mengingat nya. Akte lahir belum ada saat itu.
Pada hari itu aku langsung masuk ke kelas dan bapak langsung pulang tanpa mengantarku masuk ke kelas. Aku didampingi guru kelas 1. Anak sekarang emaknya harus nungguin dengan segala drama anak.
Di dalam kelas ternyata sudah hadir sekitar 20 orang anak baru. Usia mereka semua pastinya lebih muda dari usiaku. Berhubung postur tubuhku kecil maka tidak ada yang tau kalau aku murid tertua di kelas tersebut.
Anak-anak SD mah bebas masih polos-polosnya. Ada anak laki-laki yang duduk di depan bangkuku, dia lupa membawa pensil. Dia langsung meminta pinjam kepadaku padahal tak saling kenal. Rupanya kakak kami yang sama-sama kelas 6, mereka satu kelas. Mulai saat itu anak laki-laki itu sering menggangguku. Karena dia ketua kelas dia bisa mengompori kawan-kawan laki-laki nya untuk mencegat kami anak-anak perempuan. Kami seringnya pulang dari sekolah rombongan sambil berlarian takut terkejar sang ketua kelas. Pernah suatu masa semua anak laki-laki berjejer di jalan raya untuk menghalangi kami pulang sekolah. Kamipun mengambil jalan lewat pasar agar tidak berpapasan dengan ketua kelas yang rumahnya memang di pinggir jalan besar.
Aku sempat komplen ke kakaknya kalau adik bungsunya tukang ganggu. Saat kakaknya menegur adiknya itu, si adek malah senyum-senyum. Memang tak jelas ketua kelas kami ini. Alhamdulillah pas naik kelas 2 si ketua kelas pengganggu pindah sekolah karena mereka juga pindah rumah. Mulai saat itu aku merasa aman.
Naik kelas 2 aku kenal dengan kakak leting yang duduk di kelas 3. Orangnya ramah dan lembut. Aku kurang mengingat bagaimana awalnya aku bisa mengenalnya. Mulai saat itu aku tidak lagi berteman dekat dengan teman sekelas. Aku lebih nyaman berteman dengan rombongan anak kelas 3.
Saat itu masalah di keluarga masih saja sering terjadi. Bapak yang memang suka marah-marah untuk hal yang remeh sekalipun, kakak pertama yang sering konslet dengan mamak, kami juga terkadang sering bertengkar versi anak-anak. Misal saling ejek terus ada yang main bongkar baju di lemari. Ada yang saling jambak-jambakan rambut kalau sudah bertengkar. Ada yang suka bilang "gak sakit, gak sakit,"Jika ada adik /kakak yang mencubit atau memukulnya. Tapi kalau sakit dia bilang " Sakitnya , " sambil menangis. Ada adik bungsu nomor dua yang suka nangis di malam hari berjam-jam sambil memanggil nama kakak pertama. Ada adik bungsu yang menangis di malam hari karena kehausan tak ada ASI. Ya begitulah riuhnya keluarga kami saat itu.
Itu semua mamak hadapi setiap harinya selama bertahun-tahun.
Saat itu aku sering termenung dan menyendiri di sekolah. Saat para murid pada jam istirahat bermain dengan riangnya aku hanya memandangi mereka sambil duduk di lantai teras depan kelas yang di buat lebih tinggi dari halaman sekolah. Seringnya pikiran mengembara entah kemana, memikirkan segala hal yang terjadi di rumah terkadang dada rasanya begitu sesak ingin menangis tapi malu. Itulah yang terjadi hingga aku duduk di bangku SMP. Seringnya iri dengan keluarga kakak kelas yang akrab denganku. Dia sering bercerita tentang ayahnya yang sering bermain raket di lapangan belakang rumah mereka dengan dia serta abangnya. Ayahnya yang selalu mengingat kan mereka untuk sholat. Ibu yang selalu ada saat dia butuhkan. Ekonomi keluarga yang di atas rata-rata karena ayahnya seorang Mantri. Dia anak bungsu dan satu-satunya perempuan dari 4 bersaudara. Pokoknya aku salut dan sedikit iri dengan keluarga mereka. Sejak aku mengenal kakak leting tersebut aku mulai menyukai bermain raket. Kami sering bermain raket berpasangan di sekolah saat jam istirahat. Saat itu hari-hariku begitu indah saat di sekolah. Sempat ada anak seorang guru yang satu kelas dengan kakak leting tersebut mengadu ke ibunya yang memang guru di kelas kami. Katanya anaknya kenapa gak kalian kawan, apa karena kalian cantik-cantik dan pintar-pintar? Kamipun sempat merasa bersalah tapi sebenarnya anak ibu guru tersebut saja yang merasa kami abaikan. Kami berteman tidak pilih-pilih karena cantik atau pintar. Akhirnya kamipun saling meminta maaf dan berteman lagi seperti biasanya.
Masalah lain kembali muncul saat mamak hamil anak pertama nya. Mamak akan meminta melahirkan di kampungnya sendiri. Biasa mamak pulkam cukup lama. Seringnya membawa serta adik-adik yang belum bersekolah. Tentu saja keadaan rumahpun sedikit berbeda. Jika ada mamak urusan di dalam rumah semua beres. Jika mamak pulkam lain lagi ceritanya. Aku yang saat itu mulai merasa dekat dengan mamak kembali merasakan ketakutan di tinggalkan. Apa mamak akan kembali ke rumah? Kejadian seperti itu terus berulang sekitar 3 kali kehamilan mamak. Tiga orang bayi mamak meninggal saat di lahirkan atau meninggal sesaat setelah dilahirkan.
Pada suatu masa kamipun pindah rumah ke rumah yang lebih besar di desa sebelah. Rumah papan setengah permanen yang memiliki dua lantai. Letaknya pas di depan jalan utama kampung kami. Saat itu kakak pertama sudah menikah otomatis kami semakin dekat dengan mamak. Saat ada seorang laki-laki yang mengirim surat cinta kepadaku, akupun dengan gelinya bercerita ke mamak. Mamak bilang kalau mau di terima ya terima saja. Tapi aku memutuskan kalau kami berteman saja, aku masih ingin fokus belajar gak ingin terganggu dengan urusan cinta yang sering putus nyambung.
Teman-teman banyak yang sudah punya pacar. Aku masih bertahan dengan status bersahabat dengan murid laki-laki yang bersekolah di kota kabupaten sedangkan aku bersekolah di sebuah kecamatan. Begitulah hari-hariku yang sering dikirimi surat oleh seorang murid laki-laki hingga aku kelas 3 SMU. Tapi memang tak ada yang namanya persahabatan sejati lawan jenis. Di kelas 3 SMU kembali si sahabatku tersebut menyatakan rasa sukanya. Dia berkata bahwa dia tak ingin selalu memendam rasa.
Kami tak pernah satu sekolah. Saat SMU aku sekolah di ibu kota Provinsi sedangkan dia masih di Kabupaten. Setelah tamat SMU kami hilang kontak.
Oya, saat aku masih kelas 2 SD hingga kelas 5 SD. Aku mondok di Darul Atiq. Sebuah pondok pesantren tradisional yang didirikan oleh ustad lulusan tanah Merah Aceh. Aku bersama teman-teman akan pergi ke sana sekitar jam 18.15 WIB. Biasanya mamak sudah selesai memasak jam 17.30 WIB, mamak akan mengingatkanku makan dulu sebelum pergi. Kebetulan jalan menuju pondok pesantren melewati rumah lama kami hingga melewati kuburan almarhum ibu. Kamipun akan sampai di pesantren sebelum azan magrib berkumandang. Saat itu kami akan sholat berjamaah magrib dilanjutkan dengan masuk ke kelas yang telah di bagi-bagi. Kelasnya terpisah antara laki-laki dan perempuan. Murid dayah perempuan biliknya di bagian utara dan bilik laki-laki di bagian selatan. Kami sholat berjamaah di meunasah dayah. Bacaan ustadnya sangat fasih, logatnya lebih mirip logat Aceh dari pada logat suku Gayo. Kami belajar membaca Alquran, kitab Kuning dan menulis huruf Jawi. Saat itu aku masih kelas 2 SD.
Aku menjalani kehidupan dayah selama kurang lebih 4 tahun dengan menginap di dayah. Udara yang menusuk tulang di malam hari, sementara kami tidur beralasan tikar di atas tanah rumahnya ustad. Kami tidur berjejer dengan bantal dan selimut masing-masing. Menjelang subuh kami akan di bangunkan oleh petugas piket. Bagi yang telat jamaah subuh akan kena hukuman ala dayah. Setiap malam jumat acara Muhadarah. Kami semua di wajib kan mengisi ceramah di atas mimbar yang ada di podium samping mushala secara bergantian setiap Jumatnya. Acara Muhadarah merupakan gabungan santri laki-laki dan santri perempuan. Mereka dipisahkan oleh hijab di mushala. Acara Muhadarah di mulai setelah sholat Insya. Bakda magrib kami bersama-sama membaca surat Yasin, Ar Rahman dan Al Waqiah. Selama 4 tahun di sana kamipun mampu menghafal ke tiga surat tersebut secara tidak sengaja.
Bakda sholat Subuh berjamaah kami melanjutkan belajar kitab Kuning hingga pukul 06.30 WIB. Setelah itu barulah kami boleh pulang untuk bersiap-siap pergi ke sekolah. Seringnya kami lewat jalan besar bukan lewat jalan kuburan. Kami khawatir masih banyak babi berkeliaran di tempat biasa kami lewati saat pergi.
Kami akan pulang sambil berlari-lari karena takut telat pergi ke sekolah. Dengan masih memakai mukena dan membawa Alquran dan kitab Kuning di dalam 'sentong' yaitu kantong dari anyaman 'kertan' yaitu sejenis tanaman air tawar yang hidup di rawa-rawa bentuknya menyerupai tabung selinder panjang ukuran mini dengan ujung lancip. Kertan inilah bahan untuk membuat sentong. Sebenarnya sentong ini banyak fungsinya salah satunya tempat menyimpan nasi agar tetap hangat. Ukuran sentong juga berbeda-beda tergantung kebutuhan.
Saking terburu-buru nya aku pernah terguling di jalan karena menginjak mukena sambil berlari-lari. Kami sampai di rumah biasa jam 07.00 WIB. Lagi-lagi aku hanya tinggal makan, sikat gigi dan ganti baju lalu pergi ke sekolah. Semua tak lepas dari dukungan mamak.
Di daerah pegunungan tempat kami tinggal mandi bagi bukanlah rutinitas sebelum pergi ke sekolah. Udara yang sangat dingin membuat kami tak perlu mandi pagi. Jika memaksa mandi bukannya badan segar tapi bisa masuk angin dan kedinginan. Begitulah kami anak gunung tak mandi pagi.
Mamak selalu mendukung hal positif yang kami lakukan. Aku yang selalu menginap di dayah kecuali hari Minggu dayah libur. Aku juga pernah menjuarai lomba bidang studi IPA saat kelas 5 SD hingga mewakili sekolah ke Banda Aceh. Saat itu aku tak di dampingi orang tua. Kami didampingi guru perwakilan dari Kabupaten Aceh Tengah.
Sejak SD hingga SMP aku sering mengikuti lomba cerdas cermat, lomba membaca Al-Quran dan lomba karaoke tingkat remaja. Banyak piala yang di pajang di rumah kami.
Apakah dengan semua prestasi itu bapak akan bangga dan memuji kami? Jawabannya tidak. Bapak kami merupakan orang tua yang tidak pernah memuji kami anak-anaknya. Prinsip bapak kami kalian mau sekolah harus betul-betul karena tidak mudah mencari uang. Jika kalian gak mau sekolah itu malah untung gak menghabiskan uangku. Kata-kata seperti itulah yang kerap kami dengar selama kami hidup bersama bapak.
Yah prinsip hidup bapak yang seperti itu menbuat kami terpacu untuk segera tamat kuliah dan memiliki penghasilan sendiri agar tidak menghabiskan uang bapak lagi.
Dan lagi-lagi mamaklah yang memotivasi kami untuk sekolah, kuliah, belajar agama agar tidak bodoh kayak mamak. Itulah yang sering mamak katakan. Alhamdulillah dari 10 orang anak ibu, bapak dan mamak tiri, 7 diantarnya tamat sarjana, 1 tamat SMU lalu les mengetik manual, 1 tamat SMK lalu kerja ke Malaysia sebagai TKW, 1 tamatan SPP Saree. Alhamdulillah bapak kami tidak sampai menjual hartanya untuk biaya sekolah kami. Kehidupan bapak semakin hari semakin mapan. Tentu saja kebahagian, cobaan dan musibah dalam hidup ini datang silih berganti.
30 tahun mamak mendampingi kami. Anak-anak tiri yang dibesarkan melebihi anak kandung. Dia jadikan dirinya sebagai tameng agar kami bisa kuliah dan berhasil. Mengingatnya hatiku gerimis.
Bersambung
Jelang lebaran 24 Mei 2020