Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Kamis, 04 Juni 2020

#Dua wanita di masa berbeda 7

Juni 2001, aku pulkam liburan kuliah. Saat itu kakak ke 3 lagi hamil besar anak pertamanya. Suatu pagi kakak mengeluh sakit kepala, seluruh badannya udem parah. Aku sempat mengambilkan makanan untuk kakak, diapun makan sedikit saja. Saat itu dia hanya ditempat tidur, aku mengepang 1 rambutnya yang tebal dan panjang. Aku memberikan buku kecil al ma'tsurat (doa pagi dan petang) kepadanya. Setelah beberapa saat, belum selesai dia membacanya tiba-tiba kakak mengeluhkan matanya mulai kabur. Akhirnya dia di bawa ke puskesmas dan dirawat di sana satu malam. Kami semua menjaganya. Malam itu tak ada yang tidur. Kakak mulai mengigau dan memanggil "ibu... Ibu.... "
Kami tentu saja berusaha menenangkannya. Saat itu waktu terasa begitu lambat. Rencana keesokan harinya kakak dirujuk ke rumah sakit Datu Beru Takengon.
Rupanya pembuluh darah di mata kakak ke 2 sudah pecah, makanya penglihatannya terganggu. Keesokan harinya langsung kakak beserta rombongan pengantar berangkat ke rumah sakit Datu Beru. Aku ditugaskan menjaga rumah. Mamak terus mendampingi kakak hingga ke Rumah sakit Datu Beru. Rupanya kakak ke 2 tidak mengetahui sudah berapa lama usia kandungannya. Dia tidak pernah memeriksakan kehamilannya lazimnya ibu hamil.
Pada saat aku sholat ashar entah mengapa aku merasa ada yang lewat di belakang ku, padahal saat itu aku sendirian di rumah. Aku terkejut dan reflek menoleh ke belakang. Tak ada siapa-siapa. Aku melanjutkan shalat dengan suasana hati yang tak menentu.
Tepatnya pukul 17.10 WIB telpon di ruang tamu berdering. "Hallo assalamualaikum", ucapku. " Waalaikumsalam, dek tolong siapkan tikar ya, kak Warni udah meninggal barusan. Jenazahnya sedang menuju ke rumah sekarang ", kata si penelpon.
Aku tak terlalu mengingat siapa yang menelpon.
Mamaklah yang mendampingi kakak dari awal sakit hingga wafatnya. Saat itu sama sekali mamak tak pulang ke rumah. Kakak ke 2 kami ini memang lebih cocok secara karakter dengan mamak.
Saat kakak telah dimakamkan, kebetulan disebelah makam kakak ke 2 masih kosong. Mamak menandai dan membuat seolah-olah tanah di makam tersebut telah ada penghuninya. "Ini nanti buat aku", ucap mamak.
Kesedihan mamak atas kematian kakak ke 2 kerap membuat mamak berlinangan air mata saat mengingat momen bersama kakak ke 2.
Setelah beberapa tahun, setiap kali lebaran tiba mamak masih saja mengingat kakak ke 2. Mamak akan mengingat kebiasaan kakak ke 2 saat lebaran di rumah kami. Lalu mamakpun kembali menangis.
Pada suatu masa, saat kakak 1 melahirkan anak bungsunya. Mamak juga yang merawat kakak pertama. Biasa mamak akan datang dan menginap di rumah anaknya yang akan melahirkan. Begitupun dengan kakak 1, padahal kakak 1 kerap menunjukkan sikap tak sukanya dengan mamak. Tapi ya begitulah mamak, wanita yang berhati lembut dan tak pendendam.
Saat kakak ke kamar mandi, dia lama tak keluar dari dalamnya. Mamakpun khawatir, benar saja rupanya kakak pingsan di kamar mandi. Serta merta mamak mengangkatnya masuk ke kamarnya.
Tahun 2008 saat aku melahirkan anak kembar di Rumah sakit Zainal Abidin. Lagi-lagi mamak bapak juga hadir. Mereka sampai dari kampung langsung ke rumah sakit naik L300. Selama 9 hari di rumah sakit mamak, bapak dan suamilah yang bergantian menjagaku. Aku sempat koma dan masuk ICU selama tiga hari. Saat itu aku pendarahan hebat pukul 00.00 WIB. Mamaklah yang membersihkan kain-kain bekas pendarahan yang seolah menghabiskan stok darah di tubuhku. Aku memerlukan 5 kantong untuk tranfusi.
"Saat umi koma, mamak terduduk berdoa sambil menangis didepan pintu ruang ICU", ucap suamiku.
Keesokan harinya saat aku tersadar, aku merasa asing dengan kamar tempat aku di rawat, kenapa beda ya? Ini di mana? Sebelumnya aku di rawat di kamar biasa tempat para ibu usai melahirkan.
Pagi itu mamak menjelaskan kalau aku tadi malam koma dan dipindahkan ke kamar ini. Kamar bercat putih dengan gorden berwarna biru muda yang menjadi penyekat antar tempat tidurnya.
Kata mamak "mamak langsung mengingat kematian kak Warni. Apa kamu akan menyusul kak Warni juga?, mamak berdoa buat kamu agar selamat. " Ucap mamak. Ya Allah mamak, aku terharu mendengarnya.
Selama 9 hari di rumah sakit mamaklah yang merawatku, menuntunku ke kamar mandi, memandikanku, menyisir rambut hingga menyiapkan makanan buatku. Bagaimana aku bisa melupakan segala kebaikannya padaku?
Bapak, ibu mertuaku, adik ke 7 dan juga suamiku. Mereka pun bergantian menjagaku. Alhamdulillah masih banyak keluarga yang sayang padaku. Saat itu akulah pemeran utamanya. Pemeran utama yang masih harus banyak bersyukur karena banyak yang berkunjung dan memperlihatkan kepedulian mereka kepadaku. Alangkah sedihnya jika saat sakit kita sendirian dan hampa. Itulah yang dirasakan almarhum mamak.
Juni 2013, aku kembali masuk rumah sakit Zainal Abidin karena harus SC anak ke 3. Lagi-lagi mamak dan bapak hadir dari kampung untuk mendampingiku. Sebelumnya aku dan suami saja yang ada di sana.
Alhamdulillah anak ke 3 lahir sehat dan akupun sehat. Bapak masuk ke ruangan pasca melahirkan. Bapak menggendong bayi kami sambil berucap "wah ini bulek ini, kulitnya putih sekali", Ucap bapak.
Bapak duduk di kursi kamar sambil mulai melantunkan surat yasin. Bapak memang telah menghafal surat yasin entah sejak kapan. Aku belum sempat bertanya kepadanya.
Aku yang saat itu terbaring di tempat tidur, hanya mendengarkan bacaan bapak hingga usai. Alhamdulillah 3 hari kemudian kami sudah diperbolehkan pulang ke rumah. Aku dan mamak yang menggendong bayi kami saat pulang ke rumah naik taksi. Lagi-lagi aku patut bersyukur atas segala nikmat kebersamaan yang tak lepas dari hidupku.
Maret 2017 kami semua pulkam ke rumah kakak ke 3 di Takengon. Saat itu kami 2 keluarga menjenguk mamak yang di rawat di rumah kakak ke 3. Aku sempat mendengar kalau mamak di rawat orang lain. Mamak memang di rumah kakak ke 3 tapi ada seorang wanita muda yang di gaji untuk merawat mamak.
Saat itu mamak tidak lagi mampu mengurus dirinya sendiri. Untuk ke kamar mandi butuh perjuangan besar. Mamak seringnya akan menumpukan semua berat badannya ke orang yang memapahnya. Kami yang berpostur tubuh kecil tentu tak akan mampu memapahnya. Mamak selalu dipakaikan pampers karena mamak tak lagi bisa mengontrol buang hajatnya.
Saat itu mamak kelihatan gembira dengan kehadiran kami yang tiba-tiba membuat rumah menjadi ramai. Mamak di pindahkan kasurnya ke ruang tamu, sebelumnya mamak hanya di kamar saja. Saat itu mamak hanya mampu duduk sedangkan untuk berdiri mamak sudah tidak mampu.
Aku sempat bertanya ke mamak "mamak ini siapa?. " Ini Nis", jawab mamak. Aku bertanya "Mamak di mana sekarang?
" Mamak di rumah Nis, kak Ila sibuk sekali dia gak pernah di rumah", Spontan mamak menjawab.
Aku sempat bingung dengan jawaban mamak. Aku juga menghadapkan anak-anak kami ke mamak. Alhamdulillah mamak masih mengingatnya. Saat itu mamak sudah jarang berbicara, dia hanya memperhatikan orang-orang disekitarnya dengan ekpresi 'entah'.
Suatu pagi bapak tiba dari Pondok Baru. Saat itu suami adek ke 5 memasak nasi goreng buat kami semua. Kamipun makan bersama dengan mamak yang di atas kasurnya. Bapak makan di depan mamak, tiba-tiba mamak mengambil nasi dari piring bapak dan menyuapkan ke mulutnya sendiri. Bapak sedikit terkejut melihat mamak yang spontan bergerak tangannya ke nasi di piring bapak.
Kami semua membiarkan mamak seperti itu. Mamak telah di batasi makannya tidak boleh kasar, tidak boleh berminyak, tidak boleh bergaram dan lain sebagainya. Pastinya mamak bosan dengan makanan yang tawar dan itu-itu saja. Mamak nampak senang pagi itu.
Menurut dokter mamak sakit gelenjar getah bening. Sebenarnya kamipun bingung mamak sakit apa. Diagnosa dokter tak ada yang sama mengenai penyakit yang mamak derita. Suatu masa kakak ke 3 mengenal dokter yang katanya menjual obat-obatan herbal yang bisa di beli secara bertahap karena harganya yang lumayan mahal. Obat-obatan herbal cina dan ada juga pil yang ukurannya jumbo dan banyak sekali. Aku melihatnya aja ngeri. Bagiku dan suami cara pengobatan dokter ini agak aneh. Dia menggunakan media telur untuk mengambil penyakit mamak. Mamak juga disarankan membeli alat terapi yang tak pernah kami lihat bagaimana model alatnya. Kakak ke 3 sangat memuji kemampuan dokter ini. Katanya banyak yang telah sembuh. Beberapa bulan kemudian dokter tersebut sudah raib dengan puluhan pasien yang bertanya-tanya ke mana sang dokter. Kabar terakhir dokter tersebut merupakan seorang penipu.
Rupanya masih ada orang yang berhati sakit yang memanfaatkan harapan kita untuk berikhtiar menolong orang-orang terkasih kita. Penipuan berkedok pengobatan herbal dan memakai media telur.
Buat teman-teman semua waspadalah.
Saat mamak di Banda Aceh kami juga pernah membawa mamak ke tabib yang meramu sendiri obat-obatannya. Kata pak tabib, tulang ekor mamak yang sebelah kiri sudah berpindah tempat.
Saat itu pak tabib bertanya "ibu pernah jatuh ya?, "gak" spontan bapak menjawab.
Mamak menjawab "iya pernah, dulu saat di Tanah Suci, bangun dari shalat. " O pantaslah kata pak tabib.
Kami disarankan untuk membeli obat dan minyak buat mamak yang akan di ramu oleh pak tabib. Saat itu suamiku langsung mengiyakan harga obatnya yang lumayan mahal. Dialah yang menjemput dan membayar obatnya. Tapi sepertinya mamak tidak rutin meminum obat dan minyak yang harus dioleskan di punggung mamak. Mamak seringnya lupa minum obatnya karena tak ada yang mengingatkan.
Terakhir kondisi mamak semakin drop. Mamak tak lagi menunjukkan respon yang seharusnya.
April 2018, mamak di rujuk ke rumah sakit Zainal Abidin. Episode akhir dari kehidupan mamakpun semakin dekat.
Bersambung

Tidak ada komentar: