Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Kamis, 04 Juni 2020

#Dua wanita di masa yang berbeda 6

Apakah kami anak-anak bapak mamak pernah mengajak mamak tinggal bersama salah satu dari kami?
Awalnya mamak selalu menolak katanya "nanti kasihan bapakmu gak ada yang mengurusnya." Padahal siapapun yang melihat kondisi mamak mereka akan berpikir kebalikannya. Siapa yang sakit siapa pulak yang di jaga. Cukup lama mamak kukuh dengan pendiriannya. Tapi lama kelamaan kondisi mamak makin sengsara dan menyedihkan. Bapak, suami yang sangat tidak peka dengan kondisi fisik dan kejiwaan mamak. Bapak masih saja mengajak mamak ke kebun dengan mamak yang jalanpun sudah susah, alasan bapak "mamakmu cuma metik labu jipang dan duduk aja. " Tentu saja kami semua tidak percaya. Sering kami mengingatkan bapak agar lebih perhatian dengan kondisi mamak. Tapi semua omongan kami hanya angin lalu saja. Hingga pernah mamak di ajak ke rumah bibi yang merupakan kakaknya bapak. Bibi melihat mamak yang turun dari mobil dengan terseok-seok, bibipun iba. Bibi berkata ke pada bapak "kamu ya, ada istri yang baik buat semua anakmu kamu sia-siakan, kita dulu ada kek gini ine kita? Ine kita dulu yang ada mulut cabe rawitnya. Kamu ingatkan kek mana ine kita memperlakukan kita?. "
Kira-kira itulah inti omongan bibi yang jika diterjemahkan dari bahasa Gayonya. Apakah bapak tergerak hatinya?. Waalahu a'lam. Aku seringkali geram mendengar cerita adek atau kakak tentang bapak. Beberapa kali aku menelpon bapak untuk menanyakan kondisi mamak. Saat itu mamak sudah susah jika diajak ngomong langsung apalagi via HP. Seringnya bapak bilang mamak di rumah. Aku tentu saja gemas dengar jawaban bapak. "Pak, bapak kek mana kan, mamak sakit kek gitu bapak tinggal. Cobalah bapak lebih perhatian ke mamak. Mamak butuh kasih sayang bapak. Bapak jangan cuma bawa mamak ke dukun. Dukun tu cuma bisa nambah penyakit mamak. " Panjang lebar aku ngomong seringnya bapak cuma jawab "iya.. Iya. "
Beberapa kali aku mendengar dari adik-adik kalau bapak sering membawa mamak ke dukun kata bapak "mamakmu ni banyak kali jinnya. " Eh iya ke.. Apa gak terbalik. Pernah bapak membawa kulit ular besar ke rumah dan mamak diberi selimut kulit ular besar. Kebetulan saat itu bibi mampir ke rumah, dia sempat terkejut melihat kulit ular besar di ruang keluarga rumah kami. "Eh apa ni kak? "Kulit ular, kata abangmu ni biar aku cepat sembuh inilah obatnya. " Bibi tentu saja mencak-mencak dalam hatinya.
Begitulah bapak kami sangat susah di ajak menjauhkan diri dari dukun. Aku kadang bertanya ke bapak. "Pak memang dukun tu hebat kali kan?", " Banyak yang udah sembuh pulang dari situ", jawab bapak.
"Memang dukun tu kek mana hidupnya pak, dia alim, makmur kaya raya kan?". " Biasa aja hidupnya" , jawab bapak. Itulah bapak ni percaya kali sama dukun kalau dia hebat pasti hidupnya makmur kaya raya, ini hidupnya aja tak jelas, pak kalau kita ke dukun trus kita percaya itu sama aja kita sudah syirik menduakan Tuhan. Kalau kita datang ke dukun aja sholat kita bisa gak diterima selama 40 hari, kan bahaya tu pak", "iya... Iya", jawab bapak. " Bapak ni kek manakan jangan cuma iya iya aja tapi bapak gak berubah". Kalau sudah aku ngomong panjang lebar biasa bapak cuma diam, aku gak bisa melihat bagaimana ekspresi wajahnya. Ya sudahlah yang penting aku sudah mengingatkan. Bapak mau ikut atau gak itu urusan bapak lagi dengan Tuhan.
Urusan dukun memang amat susah dihilangkan dari bapak. Belum lagi kalau bapak sudah bergaul dengan teman-teman yang percaya dukun, bisa dipastikan makin banyak koleksi dukun kenalan bapak. Bapak sudah tau kami pasti tak ada yang percaya sama dukun. Bapak akan menghindar jika aku singgung tentang dukun. Dukun itu tarifnya suka hati pada umumnya, sedangkan dokter tarifnya pasti. Ujungnya-ujungnya tak lepas dari duit juga.
Bapak begitu takut jatuh miskin. Entah kejadian apa di masa lalu yang bisa membuat bapak seperti itu. Yang aku pernah dengar bapak bilang "Dulu nenekmu bilang, kamu kan orang melarat gak mungkin bisa jadi orang kaya. " Kata-kata ibu mertua bapak itulah kayaknya yang tertanam di alam bawah sadar bapak. Ketakutan berlebihan terhadap kemelaratan. Akhirnya bapak sangat hemat biarpun uang ditabungan dan kekayaan yang dimiliki bapak lebih dari cukup.
Tapi bapak masih saja terlalu khawatir. Yah kami tidak tau bagaimana kehidupan bapak selama bapak tinggal bersama ibu mertua. Kami tidak tau bagaimana nenek memperlakukan bapak di masa lalu. Bukankah tak ada yang instan, semua kita merupakan hasil dari masa lalu.
Kakak ke 3 berinisiatif membawa mamak ke seorang mantri sekaligus seorang psikiater. Mantri tersebut mencoba menyibak penyebab mamak seperti itu. Mamak pun ditanyakan beberapa pertanyaan. Mungkin untuk keperluan diagnosa awal. Di mulai dari kek mana bu anak-anak ibu? "Semua anak-anak baik", jawab mamak. "Kalau bapak kek mana bu?, maka mamak hanya diam sambil bercucuran air mata dengan derasnya.
Beberapa kali mamak di bawa ke sana. Pak mantri mencoba memberikan motivasi buat mamak. Bahwa mamak masih punya kami anak-anaknya. Pak mantri sempat berjumpa dengan bapak kami. Tapi bapak tentu saja tidak akan pernah sudi jika disalahkan. Bapak tetap kukuh bahwa bukan dia penyebab mamak seperti itu. Akhirnya mantri cuma mengatakan mamak kalian ini adalah gambaran tuanku Fatimah. Orang berkorban dengan tulus, memberikan cinta matinya pada bapak tapi mungkin cinta dan kasih yang tidak berbalas. Wallahu a'lam. Kisah mamak dan bapak hanya mamak dan bapak sendirilah yang tau bagaimana awal mulanya. Tak akan ada akhir jika tak ada awal. Tak akan ada asap jika tak ada api.
Bagiku mamak merupakan orang pertama yang mendukungku untuk bekerja. Dulu mamak amat khawatir karena aku hanya lulusan D3 komputer, sedangkan kakak dan adik mereka semua lulusan S1. Suatu masa saat ada telpon masuk dari bagian Tata Usaha Mipa kebetulan aku yang mengangkat telpon di rumah. Ada suara ibu-ibu yang mengatakan bahwa pak Dekan Mipa butuh sekretaris yang berjilbab. Kek mana kamu mau? Aku tentu saja senang sekali karena itulah tawaran pertamaku untuk bekerja. Sekretaris Dekan... gak pernah terbayang jadi sekretaris pribadi seseorang. Akupun memberikan kabar gembira tersebut ke mamak. mamak langsung antusias dan pergi ke pasar untuk membelikanku sebuah gamis ungu. Gamis yang ukurannya kepanjangan dan mamak sendirilah yang memotong dan menjahitkannya untukku. Mamak juga meminta gamis punya adik bungsu kami untuk diberikan kepadaku. Aku memang hanya memiliki beberapa potong pakaian, kalau kakak ke 3 kami bilang "bajumu kok itu- itu saja. " Aku memang begitu tidak tertarik mengkoleksi baju, aku lebih suka koleksi kaset nasyit atau koleksi buku. Semua orang tentu punya hal-hal yang disukai dan hal yang tidak disukai.
Keesokan harinya aku langsung berangkat lagi ke Banda Aceh setelah kurang lebih sebulan menganggur di rumah. Jangan ditanya betapa nyinyirnya mulut bibi ke 4 dari pihak almarhum ibu. Kebetulan rumah bibi dekat dari rumah kami. Bibi mengatakan "kenapa gak kerja, biasanya orang setelah lulus kuliah pasti dapat kerjaan kamu kok gak, ini malah nganggur di rumah.... " Aku sempat panas hati mendengar ocehan bibi. Di dalam hati aku berkata 'kita lihat aja nanti bi, Kira-kira anak bibi kalau tamat kuliah nanti langsung bisa dapat kerja apa gak. '
Ternyata beberapa tahun kemudian anak bibi lulus dan menganggur juga. Aku rasanya pingin bawa dramben besar,memukulnya dengan keras sambil berseru di depan bibi, 'Emang enak...belum tau dia'
Sabar... sabar... ini ujian...
Trus ada lagi kisah almarhum kakak ke 2 kami yang bekerja sebagai TKW ke Malaysia. Aku dan mamak serta adik tiri nomor 1 ikut mengantarkannya ke terminal Takengon. Kakak bersama rombongan TKW berangkat dengan naik bus ke Medan, dari sana barulah mereka melanjutkan perjalanan ke Malaysia. Aku ingat mamak melepas kakak yang tamat SMK dengan deraian air mata. Selama kakak di Malaysia kakak kerap menelpon rumah. Saat lebaran kakak gak bisa pulang, lontong buatan mamaklah yang selalu di ingatnya. Ada lagi adik ke 6 yang juga dapat beasiswa pemda ke malaysia setelah dia lulus S1 lagi-lagi mamaklah yang dia rindukan beserta suasana rumah kami. Akupun begitu setelah mengundurkan diri dari Sekretaris Dekan, saat di Blangkejeren mamaklah yang sering ku telpon. Seminggu sekali aku kerap menelponnya. Saat itu mamak masih sehat wal afiat. Bapak ku telpon sekedarnya saja. Kenangan bersama mamak lainnya saat kami pulkam pas sekolah ataupun pas kuliah dulu maka mamak akan menawarkan kami untuk di pijatnya. Padahal kan mamak yang lebih capek. Kami semua tak pandai memijat.
Saat masih di Blangkejeren, aku seringnya membawa kaset nasyid untuk di stel di mobil l300. Dari pada pusing dengerin musik pak sopir yang gebebang gedebung. Aku lebih memilih memberikan kaset yang ku bawa untuk didengarkan oleh semua penumpangnya. Biasanya mereka gak betah mendengarnya. Tapi jadilah dulu alhamdulillah abang sopir gak langsung menolak. 7 jam perjalanan Blangkejeren-Pondok Baru lumayan penat dan bosan.
Pernah di suatu masa pak sopir mendengar lagu maidany 'Harapan Bertepi', dia memutar ulang nasyid ini beberapa kali. Baru pertama kali ada sopir yang menghayati nasyid ini. Dulu kaset bisa di pasang di mobil, sekarang berganti MP3.
Ini liriknya 'Harapan Bertepi by Maidany'
Manusia hanyalah berusaha
Manusia hanyalah berencana
Allah lah yang menentukan
Allah lah yang memastikan segalanya
Hidup ini hanya sementara
Hidup ini hanya sandiwara
Ada kehidupan yang abadi
Ada kehidupan yang hakiki
Mari kita semai bersama
Hidup ini dengan kasih sayang
Mari kita jalin bersama
Hidup ini dengan persaudaraan
Diantara kita karena Allah
Karena Allah
Karena... Allah....
Karena Allah...
Rupanya pas ku pasang di rumah nasyid ini sangat mamak sukai. Kata-katanya menggambarkan kehidupan ini dengan segala permasalahan nya. Tapi sebenarnya ada hidup yang hakiki dan abadi.
Bersambung

Tidak ada komentar: