Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Kamis, 04 Juni 2020

#Dua wanita di masa yang berbeda 3

Suatu masa saat kami pulang sekolah, adik bungsu kami nangis kencang. Dia minta sesuatu tapi mamak gak ngerti dia minta apa. Saat itu adik bungsu kami mulai belajar berbicara dalam bahasa daerah kami. Mamak kami sama sekali gak mengerti apa maunya. Adek bungsu kami adalah anak tiri yang dibesar kan ala anak kandung oleh mamak kami. Bukan hanya dia tapi kami semua juga diberlakukan sama. Banyak perbedaan kami dan mamak, tapi mamak bisa menghadapi. Mungkin di awalnya semua merasa bagimana sulitnya berinteraksi dengan keluarga inti dengan berbagai tingkah laku, pola pikir, kebiasaan, sifat yang semuanya berbeda. Saat ini jika aku bayangkan posisi saya seperti posisi mamak saat itu mungkin akupun akan menyerah sebelum berlaga.
Itu baru tantangan dari kami Anak-anak tiri sejumlah 7 perempuan dan 1 laki-laki. Jika abang pertama kami mungkin awalnya dia lebih dekat ke nenek dari pihak almarhum ibu. Bagaimana tidak dia adalah cucu laki-laki pertama di keluarga besar nenek. Almarhum ibu kami merupakan anak pertama 7 bersaudara, 5 perempuan dan 2 laki-laki. Salah 1 anak laki-laki nenek meninggal saat kecil. Otomatis aku gak kenal. Diantara semua Anak-anak nenek almarhum ibu kami termasuk anak yang gak neko-neko. Rumah kami sering dijadikan tempat berkumpul para bibi dan paman.
Oya, setelah ibu wafat sebenarnya bapak pernah meminta bibi yang merupakan adek bungsu nomor dua untuk menggantikan almarhum ibu. Akulah yang diutus bapak untuk menyampaikan surat dalam kotak korek api. Saat itu aku belum terlalu faham urusan orang dewasa. Tapi bibi tidak membalasnya. Bagi mereka (adik-adik almarhum ibu) bapak kami sudah selayaknya abang kandung saja. Pas ibu menikah dengan bapak, bapak tinggal di keluarga besar nenek. Istilah di daerah kami 'angkap' yaitu suami yang tinggal di rumah pihak wanita. Umunya perempuan yang tinggal di rumah laki-laki. Jadi bapak kami tentu saja yang selalu ada disekitar keluarga inti nenek.
Saat mamak masuk ke keluarga besar almarhum ibu kami. Alhamdulillah para bibi dan paman juga ipar yang lain menyambut dengan panggilan kakak. Jika dilihat dari usia mamak rata-rata jauh lebih muda dari usia mereka. Yang lebih aneh lagi adik ipar almarhum ibu sering kerumah kami. Hal ini sempat membuat bapak cemburu berat.
Kami merupakan keluarga besar dengan adik/kakak/abang sepupu yang umurnya rata-rata sebaya. Kalau sudah dikumpulkan semua cucu nenek tak ruangan di rumah karena ramenya. Rata-rata mereka punya anak 3 hingga 8 orang. Pokoknya heboh kalau udah ngumpul. Begitu juga para bibi heboh kalau sudah berkumpul.
Yah lagi-lagi banyak orang tentu beraneka ragam pula sifat dan tabiatnya. Dan itu semua mampu mamak hadapi dengan baik.
Setelah mamak hadir di rumah kami, maka akupun mulai didaftarkan masuk Sekolah Dasar. Saat itu tentu saja aku sangat senang. Aku telah lama ingin sekolah. Aku bayangkan sekolah itu penuh tantangan, ada naik kelas. Dalam pikiranku naik kelas itu kita semua berlomba naik ke atap kelas yang di susun ala rumah dari papan. Semua berlomba untuk sampai ke atas kelas. Eh rupanya bukan kayak gitu.
Aku merupakan anak yang dipaksa mandiri karena keadaan. Jika anak SD kelas 1 sekarang semua di urusin, maka aku semua urus sendiri. Mulai dari menyisir rambut yang di keluarga kami sudah dibiasakan memanjangkan rambut sedari usia dini. Kalau tidak biasa menyisir rambut panjang dan tebal itu susah juga. Urusan memakai seragam sekolah itu bukan hal yang sulit bagiku. Bapak yang mengantar aku ke sekolah dengan sepeda motornya. Anehnya bapak tidak terlalu mengingat kapan jelasnya tanggal dan tahun lahirku, mungkin karena aku anak ke 5 dari 8 bersaudara jadi susah mengingat nya. Akte lahir belum ada saat itu.
Pada hari itu aku langsung masuk ke kelas dan bapak langsung pulang tanpa mengantarku masuk ke kelas. Aku didampingi guru kelas 1. Anak sekarang emaknya harus nungguin dengan segala drama anak.
Di dalam kelas ternyata sudah hadir sekitar 20 orang anak baru. Usia mereka semua pastinya lebih muda dari usiaku. Berhubung postur tubuhku kecil maka tidak ada yang tau kalau aku murid tertua di kelas tersebut.
Anak-anak SD mah bebas masih polos-polosnya. Ada anak laki-laki yang duduk di depan bangkuku, dia lupa membawa pensil. Dia langsung meminta pinjam kepadaku padahal tak saling kenal. Rupanya kakak kami yang sama-sama kelas 6, mereka satu kelas. Mulai saat itu anak laki-laki itu sering menggangguku. Karena dia ketua kelas dia bisa mengompori kawan-kawan laki-laki nya untuk mencegat kami anak-anak perempuan. Kami seringnya pulang dari sekolah rombongan sambil berlarian takut terkejar sang ketua kelas. Pernah suatu masa semua anak laki-laki berjejer di jalan raya untuk menghalangi kami pulang sekolah. Kamipun mengambil jalan lewat pasar agar tidak berpapasan dengan ketua kelas yang rumahnya memang di pinggir jalan besar.
Aku sempat komplen ke kakaknya kalau adik bungsunya tukang ganggu. Saat kakaknya menegur adiknya itu, si adek malah senyum-senyum. Memang tak jelas ketua kelas kami ini. Alhamdulillah pas naik kelas 2 si ketua kelas pengganggu pindah sekolah karena mereka juga pindah rumah. Mulai saat itu aku merasa aman.
Naik kelas 2 aku kenal dengan kakak leting yang duduk di kelas 3. Orangnya ramah dan lembut. Aku kurang mengingat bagaimana awalnya aku bisa mengenalnya. Mulai saat itu aku tidak lagi berteman dekat dengan teman sekelas. Aku lebih nyaman berteman dengan rombongan anak kelas 3.
Saat itu masalah di keluarga masih saja sering terjadi. Bapak yang memang suka marah-marah untuk hal yang remeh sekalipun, kakak pertama yang sering konslet dengan mamak, kami juga terkadang sering bertengkar versi anak-anak. Misal saling ejek terus ada yang main bongkar baju di lemari. Ada yang saling jambak-jambakan rambut kalau sudah bertengkar. Ada yang suka bilang "gak sakit, gak sakit,"Jika ada adik /kakak yang mencubit atau memukulnya. Tapi kalau sakit dia bilang " Sakitnya , " sambil menangis. Ada adik bungsu nomor dua yang suka nangis di malam hari berjam-jam sambil memanggil nama kakak pertama. Ada adik bungsu yang menangis di malam hari karena kehausan tak ada ASI. Ya begitulah riuhnya keluarga kami saat itu.
Itu semua mamak hadapi setiap harinya selama bertahun-tahun.
Saat itu aku sering termenung dan menyendiri di sekolah. Saat para murid pada jam istirahat bermain dengan riangnya aku hanya memandangi mereka sambil duduk di lantai teras depan kelas yang di buat lebih tinggi dari halaman sekolah. Seringnya pikiran mengembara entah kemana, memikirkan segala hal yang terjadi di rumah terkadang dada rasanya begitu sesak ingin menangis tapi malu. Itulah yang terjadi hingga aku duduk di bangku SMP. Seringnya iri dengan keluarga kakak kelas yang akrab denganku. Dia sering bercerita tentang ayahnya yang sering bermain raket di lapangan belakang rumah mereka dengan dia serta abangnya. Ayahnya yang selalu mengingat kan mereka untuk sholat. Ibu yang selalu ada saat dia butuhkan. Ekonomi keluarga yang di atas rata-rata karena ayahnya seorang Mantri. Dia anak bungsu dan satu-satunya perempuan dari 4 bersaudara. Pokoknya aku salut dan sedikit iri dengan keluarga mereka. Sejak aku mengenal kakak leting tersebut aku mulai menyukai bermain raket. Kami sering bermain raket berpasangan di sekolah saat jam istirahat. Saat itu hari-hariku begitu indah saat di sekolah. Sempat ada anak seorang guru yang satu kelas dengan kakak leting tersebut mengadu ke ibunya yang memang guru di kelas kami. Katanya anaknya kenapa gak kalian kawan, apa karena kalian cantik-cantik dan pintar-pintar? Kamipun sempat merasa bersalah tapi sebenarnya anak ibu guru tersebut saja yang merasa kami abaikan. Kami berteman tidak pilih-pilih karena cantik atau pintar. Akhirnya kamipun saling meminta maaf dan berteman lagi seperti biasanya.
Masalah lain kembali muncul saat mamak hamil anak pertama nya. Mamak akan meminta melahirkan di kampungnya sendiri. Biasa mamak pulkam cukup lama. Seringnya membawa serta adik-adik yang belum bersekolah. Tentu saja keadaan rumahpun sedikit berbeda. Jika ada mamak urusan di dalam rumah semua beres. Jika mamak pulkam lain lagi ceritanya. Aku yang saat itu mulai merasa dekat dengan mamak kembali merasakan ketakutan di tinggalkan. Apa mamak akan kembali ke rumah? Kejadian seperti itu terus berulang sekitar 3 kali kehamilan mamak. Tiga orang bayi mamak meninggal saat di lahirkan atau meninggal sesaat setelah dilahirkan.
Pada suatu masa kamipun pindah rumah ke rumah yang lebih besar di desa sebelah. Rumah papan setengah permanen yang memiliki dua lantai. Letaknya pas di depan jalan utama kampung kami. Saat itu kakak pertama sudah menikah otomatis kami semakin dekat dengan mamak. Saat ada seorang laki-laki yang mengirim surat cinta kepadaku, akupun dengan gelinya bercerita ke mamak. Mamak bilang kalau mau di terima ya terima saja. Tapi aku memutuskan kalau kami berteman saja, aku masih ingin fokus belajar gak ingin terganggu dengan urusan cinta yang sering putus nyambung.
Teman-teman banyak yang sudah punya pacar. Aku masih bertahan dengan status bersahabat dengan murid laki-laki yang bersekolah di kota kabupaten sedangkan aku bersekolah di sebuah kecamatan. Begitulah hari-hariku yang sering dikirimi surat oleh seorang murid laki-laki hingga aku kelas 3 SMU. Tapi memang tak ada yang namanya persahabatan sejati lawan jenis. Di kelas 3 SMU kembali si sahabatku tersebut menyatakan rasa sukanya. Dia berkata bahwa dia tak ingin selalu memendam rasa.
Kami tak pernah satu sekolah. Saat SMU aku sekolah di ibu kota Provinsi sedangkan dia masih di Kabupaten. Setelah tamat SMU kami hilang kontak.
Oya, saat aku masih kelas 2 SD hingga kelas 5 SD. Aku mondok di Darul Atiq. Sebuah pondok pesantren tradisional yang didirikan oleh ustad lulusan tanah Merah Aceh. Aku bersama teman-teman akan pergi ke sana sekitar jam 18.15 WIB. Biasanya mamak sudah selesai memasak jam 17.30 WIB, mamak akan mengingatkanku makan dulu sebelum pergi. Kebetulan jalan menuju pondok pesantren melewati rumah lama kami hingga melewati kuburan almarhum ibu. Kamipun akan sampai di pesantren sebelum azan magrib berkumandang. Saat itu kami akan sholat berjamaah magrib dilanjutkan dengan masuk ke kelas yang telah di bagi-bagi. Kelasnya terpisah antara laki-laki dan perempuan. Murid dayah perempuan biliknya di bagian utara dan bilik laki-laki di bagian selatan. Kami sholat berjamaah di meunasah dayah. Bacaan ustadnya sangat fasih, logatnya lebih mirip logat Aceh dari pada logat suku Gayo. Kami belajar membaca Alquran, kitab Kuning dan menulis huruf Jawi. Saat itu aku masih kelas 2 SD.
Aku menjalani kehidupan dayah selama kurang lebih 4 tahun dengan menginap di dayah. Udara yang menusuk tulang di malam hari, sementara kami tidur beralasan tikar di atas tanah rumahnya ustad. Kami tidur berjejer dengan bantal dan selimut masing-masing. Menjelang subuh kami akan di bangunkan oleh petugas piket. Bagi yang telat jamaah subuh akan kena hukuman ala dayah. Setiap malam jumat acara Muhadarah. Kami semua di wajib kan mengisi ceramah di atas mimbar yang ada di podium samping mushala secara bergantian setiap Jumatnya. Acara Muhadarah merupakan gabungan santri laki-laki dan santri perempuan. Mereka dipisahkan oleh hijab di mushala. Acara Muhadarah di mulai setelah sholat Insya. Bakda magrib kami bersama-sama membaca surat Yasin, Ar Rahman dan Al Waqiah. Selama 4 tahun di sana kamipun mampu menghafal ke tiga surat tersebut secara tidak sengaja.
Bakda sholat Subuh berjamaah kami melanjutkan belajar kitab Kuning hingga pukul 06.30 WIB. Setelah itu barulah kami boleh pulang untuk bersiap-siap pergi ke sekolah. Seringnya kami lewat jalan besar bukan lewat jalan kuburan. Kami khawatir masih banyak babi berkeliaran di tempat biasa kami lewati saat pergi.
Kami akan pulang sambil berlari-lari karena takut telat pergi ke sekolah. Dengan masih memakai mukena dan membawa Alquran dan kitab Kuning di dalam 'sentong' yaitu kantong dari anyaman 'kertan' yaitu sejenis tanaman air tawar yang hidup di rawa-rawa bentuknya menyerupai tabung selinder panjang ukuran mini dengan ujung lancip. Kertan inilah bahan untuk membuat sentong. Sebenarnya sentong ini banyak fungsinya salah satunya tempat menyimpan nasi agar tetap hangat. Ukuran sentong juga berbeda-beda tergantung kebutuhan.
Saking terburu-buru nya aku pernah terguling di jalan karena menginjak mukena sambil berlari-lari. Kami sampai di rumah biasa jam 07.00 WIB. Lagi-lagi aku hanya tinggal makan, sikat gigi dan ganti baju lalu pergi ke sekolah. Semua tak lepas dari dukungan mamak.
Di daerah pegunungan tempat kami tinggal mandi bagi bukanlah rutinitas sebelum pergi ke sekolah. Udara yang sangat dingin membuat kami tak perlu mandi pagi. Jika memaksa mandi bukannya badan segar tapi bisa masuk angin dan kedinginan. Begitulah kami anak gunung tak mandi pagi.
Mamak selalu mendukung hal positif yang kami lakukan. Aku yang selalu menginap di dayah kecuali hari Minggu dayah libur. Aku juga pernah menjuarai lomba bidang studi IPA saat kelas 5 SD hingga mewakili sekolah ke Banda Aceh. Saat itu aku tak di dampingi orang tua. Kami didampingi guru perwakilan dari Kabupaten Aceh Tengah.
Sejak SD hingga SMP aku sering mengikuti lomba cerdas cermat, lomba membaca Al-Quran dan lomba karaoke tingkat remaja. Banyak piala yang di pajang di rumah kami.
Apakah dengan semua prestasi itu bapak akan bangga dan memuji kami? Jawabannya tidak. Bapak kami merupakan orang tua yang tidak pernah memuji kami anak-anaknya. Prinsip bapak kami kalian mau sekolah harus betul-betul karena tidak mudah mencari uang. Jika kalian gak mau sekolah itu malah untung gak menghabiskan uangku. Kata-kata seperti itulah yang kerap kami dengar selama kami hidup bersama bapak.
Yah prinsip hidup bapak yang seperti itu menbuat kami terpacu untuk segera tamat kuliah dan memiliki penghasilan sendiri agar tidak menghabiskan uang bapak lagi.
Dan lagi-lagi mamaklah yang memotivasi kami untuk sekolah, kuliah, belajar agama agar tidak bodoh kayak mamak. Itulah yang sering mamak katakan. Alhamdulillah dari 10 orang anak ibu, bapak dan mamak tiri, 7 diantarnya tamat sarjana, 1 tamat SMU lalu les mengetik manual, 1 tamat SMK lalu kerja ke Malaysia sebagai TKW, 1 tamatan SPP Saree. Alhamdulillah bapak kami tidak sampai menjual hartanya untuk biaya sekolah kami. Kehidupan bapak semakin hari semakin mapan. Tentu saja kebahagian, cobaan dan musibah dalam hidup ini datang silih berganti.
30 tahun mamak mendampingi kami. Anak-anak tiri yang dibesarkan melebihi anak kandung. Dia jadikan dirinya sebagai tameng agar kami bisa kuliah dan berhasil. Mengingatnya hatiku gerimis.
Bersambung
Jelang lebaran 24 Mei 2020

Tidak ada komentar: