Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Kamis, 04 Juni 2020

#Dua wanita di masa yang berbeda 4

Tahun 1997 saat aku kelas 1 SMU mamak melahirkan anak ke 5. Seorang bayi perempuan yang cantik. Kami saat itu sempat komplen. Kata mamak biarkan mamak punya anak 2 saja. Kami sempat debat kusir memakai bahasa Inggris, aku, adek ke 5,6 dan kakak ke 3. Kakak ke 3 mencoba menjelaskan ke kami semua. Debat kusir itu kami lakukan di lantai 2 rumah kami, ketaknya pas di atas kamar bapak mamak. Mamak saat itu pasti mendengar riuhnya suara kami yang saling sahut menyahut. Intinya kakak ke 3 mengajak kami untuk mengerti kondisi mamak. Diapun pasti ingin punya anak kandungnya sendiri. Sebelumnya sudah ada anak ke 4, seorang anak perempuan menggemaskan yang usianya sekitar 6 tahun kalau tidak salah.
Kami sengaja memakai bahasa Inggris agar mamak tidak mengerti apa yang kami bahas. Saat itu kakak ke 3 sedikit banyak sudah belajar ilmu agama di rohis sekolahnya juga di kampus teknik tempat dia kuliah saat itu. Sementara aku juga mulai belajar ilmu agama di rohis sekolah. Sejak SMU kakak ke 3 sudah memakai jilbab. Akupun tidak lagi bongkar pasang jilbab saat masuk SMU. Kami sama-sama belajar dengan jalan kami masing-masing. Adik ke 5 dan ke 6 saat itu SMP kelas 3.
Mamak kami merupakan anak ke 4 dari 7 bersaudara itu kalau saya tidak salah mengingat. Termasuk keluarga pindahan dari Jawa. Jelasnya aku juga kurang tau. Saat itu hanya nenek yang masih hidup. Aku sempat beberapa kali ke Aceh Timur kampung mamak beserta keluarga besarnya. Yang ku ingat kami naik bus besar arah Medan, lalu berhenti di Langsa terus naik sepeda motor masuk ke dalam cukup jauh juga. Jalannya masih belum beraspal. Di kanan kiri ada kebun, sawah, rumah penduduk yang masih jarang-jarang. Saat itu aku masih SMP kalau tidak salah, aku kayaknya hanya 2 kali ke sana. Sesampainya di kampung mamak kami disambut nenek, para bibi dan om. Aku ingat saat hujan masih banyak pacat di jalan kampung yang berlumpur kuning, lengket dan di tumbuhi rerumputan yang tidak terlalu tinggi seperti rumput-rumput di lapangan bola pada umumnya. Saat itu sambutan mereka cukup baik, ada anak-abak kakak mamak yang usianya agak sebaya denganku dan adik-adik. Kami biasanya bergantian pergi ke kampung mamak. Jaraknya cukup jauh terlebih masalah biaya juga. Saat itu ada pohon belimbing segi di belakang rumah nenek. Kami tentu saja belum pernah melihatnya. Adik-adik mamak sedang mengupas pinang dengan parang, karena penasaran akupun ingin mencoba mengupasnya. Ternyata tanganku tersayat jari telunjuk sebelah kanan. Nenek langsung panik. Aku biasa saja masih jaga image karena baru kenal. Nenek mengambil sarang laba-laba yang putih bersih dari atap rumbia dapur rumah mereka, lalu membalut jariku dengannya. Ajaibnya lukanya lumayan cepat sembuh. Zaman dahulu orang-orang selalu bisa memanfaatkan apapun yang telah sediakan alam. Beda dengan saat ini.
Kendala di sana, air bersih susah di dapatkan. Mereka mengambil air di sumur berlumpur, airnya kuning dan jalan menuju ke sana berlumpur dan jika musim hujan dipastikan akan becek dan lengket di sandal yang kita pakai. Kami di ajak ke sawah nenek. Sawahnya tidak terlalu jauh dari rumah. Ada juga ladang kedelai milik nenek. Di sana pohon-pohon masih lumayan rimbun dan tinggi-tinggi suara monyet bersahut-sahutan di atas pohon.
Katanya buah-buahan sering dihabiskan oleh kawanan monyet. Banyak hal baru yang kami dapati di sana. Tentunya beda daerah beda pula adat, bahasa dan kebiasaan masyarakatnya.
Kami di kampung nenek tidak pernah berlama-lama. Terlebih jika pergi bersama bapak maka paling lama 1 minggu di sana. Oya akses pendidikan di sana juga agak susah. Makanya mamak tak tamat SD, mungkin hanya sampai kelas 2 saja. Mamak tidak terlalu pandai membaca dan mengajinyapun masih terbata-bata. Tapi niat mamak untuk belajar patut di acungi jempol. Mamak mulai ikut pengajian bakda Jumat di kampung kami. Entah bagaimana metode mengajinya aku tak pernah ikut melihatnya.
Saat tamat kuliah aku sempat pulkam sekitar 1 bulan lebih. Otomatis waktuku full di rumah saja sambil membantu mamak menjaga kios diruangan depan rumah. Seringnya aku sambil menulis buku harian ataupun membaca Al-Quran. Saat itu mamak cukup sibuk dengan urusan rumah tangga dan mengurus adik tiri kami. Aku pernah mengajarkan mamak membaca Al-Quran. Mamak sangat senang, banyak bacaan yang masih keliru.
Mamak bilang "itulah susahnya kalau udah tua baru belajar."
Mamak kesulitan mengucapkan makharizul hurufnya terlebih logat bawaannya.
Waktu mamak untuk belajar terbatas. Banyak hal yang mamak urus kadang aku bertanya, "Mamak gak capek?, Yah mau kek mana lagi beginilah kalau kita perempuan. Nanti kalau kamu menikah gak usah dengan lelaki suku sini ya, sama yang lain aja. Memang kenapa mak?, "Lelaki di suku kita ini kurang mengerti perempuan maunya terima beres saja, kalau kita sehat bisalah tapi kalau kita sakit mereka bakal sia-siakan kita. "
Begitulah kurang lebih penuturan mamak kami. Dia sudah merasakan bagaimana bersuamikan laki-laki suku kami. "Orang Jawa lebih mengerti istri. " Ucapnya.
Aku yang memang belum menikah, saat itu masih mencoba mencerna ke mana arah pembicaraan mamak. Saat itu karena aku belum bekerja belum ada niat untuk menikah. Begitupun harapan mamak kami, "Jangan hanya mengharapkan uang dari suami katanya. Kalau kita punya uang sendiri kita lebih enak", begitu kata mamak.
Saat itu mamak mulai sering bercerita. Mamak yang energik, ceplas ceplos kalau ngomong, dia juga orang yang tak pandai mengolah kata. Apa yang ada di hati itulah yang dia ucapkan.
Aku belajar banyak dari mamak, tentang kesabaran, kesedihan, pengabdian yang tulus, pikiran yang polos. Pernah aku bertanya kenapa mamak, "Menapa mamak bisa sabar menghadapi bapak?, kami aja yang anak kandungnya lebih memilih melarikan diri dari pada berlama-lama tinggal bersama bapak", begitu ucapku dengan berapi-api.
Banyak hal yang gak sejalan dengan prinsip dan cara berpikir bapak. Saat kami belum punya penghasilan sendiri apapun perintah bapak itu mutlak. Jika membantah bapak kena 'joreng' yaitu lirikan mata yang menampakkan kemarahan. Bapak juga bisa menceramahi kami panjang lebar. Bapak tidak suka kami bermalas-malasan, bergaul bebas dengan laki-laki, memotong rambut, memakai celana jin, keluyuran tak tentu arah, memakai baju ketat, rok pendek. Jika melanggar siap-siap kena marah dan kena joreng. Hal yang paling kami takuti saat itu.
Itulah bapak kami. Saat itu kami umumnya semua patuh. Pernah suatu masa saat aku pulkam bapak ngomong ke mamak "bilang sama si Warni apa gak ada lagi teman perempuannya?", saat itu kakak ke 2 di antar pulang oleh seorang laki-laki dengan mengendarai sepeda motor. Mereka parkir di depan rumah. 'Habislah kau Mael'.
Kakak ke 2 ini merupakan orang yang kemayu, jarang ngomong dan belum berjilbab. Sedangkan kami saat itu sudah mulai berjilbab dan memakai rok panjang walaupun di rumah. Awalnya bapak malah menyuruh kami memakai kain sarung, kami mana pandai memakai nya. Alhamdulillah bapak mendukung kami berjilbab dan menutup aurat. Mamakpun mengikuti jejak kami.
Sejak saat itu anak bungsu mamak yang masih TK memang tak pernah lagi membuka auratnya. Semoga bisa istiqomah sampai akhir usia ya adek manis.
Bagi diriku sendiri bapak punya kenangan manis di masa kecilku. Aku anak yang sering di bawa bapak menonton bola saat masih belum sekolah. Biasanya aku didudukkan di tangki minyak yang letaknya di depan sepeda motor bapak. Saat itu hanya aku sendiri anak perempuan dilapangan bola. Bapak juga pernah mengajak aku dan adik-adik hingga ke Samar Kilang naik mobil truk. Kami senang sekali. Bapak akan menjelaskan kepada kami nama daerah yang kami lewati. Pernah aku dan bapak terjatuh dari sepeda motor, aku yang di bonceng di belakang kakiku terbakar knalpot sepeda motor. Lukanya membekas di kaki hingga saat ini.
Jadi sebenarnya bapak itu sayang pada kami semua dengan cara tersendiri. Semoga bapak panjang umur, diberikan kesehatan, dibukakan pintu hati untuk berhaji dengan niat yang suci, diberikan keberkahan usia dan keberkahan rizki, diselamatkan dunia dan akhiratnya.
Bapak sosok yang mulai menua. Bapak saat ini merupakan hasil masa lalu yang kami semua tak tau bagaimana kisah hidupnya. Bagaimana masa kecilnya, bagaimana pola asuhnya, siapa panutan hidupnya. Banyak hal yang seharusnya kami ketahui tentang bapak. Tapi tentu tak ada masa terlambat untuk belajar memahami orang tua sendiri.
Masa-masa pulkam saat aku di SMU merupakan masa yang menyenangkan. Masa bercerita apapun ke mamak. Kisah hidup di perantauan. Kami yang kurang kompak dengan kakak ke 3 dan lain sebagainya. Pokoknya puas-puasin cerita. Mamakpun mulai memberikan masukan kepadaku.
"Tidak boleh menanam kebencian untuk bapak, saudara-saudara dan siapapun juga, bagaimanapun bapak tetaplah bapak kita, saudara tetaplah saudara kita bagaimanapun keadaannya."
Kata-kata itulah yang sering mamak ulang saat aku sudah berkeluh kesah. Tapi itu dulu sebelum mamak sakit secara perlahan tapi pasti.
Awalnya tahun 2012 mamak dan bapak berangkat umrah. Entah bagaimana kejadian di sana.
Bersambung...





Tidak ada komentar: