Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Kamis, 04 Juni 2020

#Dua wanita di masa yang berbeda 5

Aku tidak terlalu jelas cerita bapak dan mamak pergi umrah. Seingatku mamak mengirimkan oleh-oleh dari Arab Saudi via adik yang pulkam. Ada kacang Arab, coklat, peci buat ke 3 anak kami serta sebuah baju gamis untuk abinya anak-anak. Saat itu kami sekeluarga tidak pulkam. Lebaran Haji kami memang jarang sekali merencanakan pulkam. Jadwal pulkam hanya lebaran Idul Fitri, itupun bergantian pulkamnya. Jika tahun ini kami pulkam ke Bener Meriah maka kami tidak pulkam ke Idi Rayeuk kampungnya suami. Otomatis kami 2 tahun sekali baru pulkam. Saat lebaran bersama mamak di kampung menjadi saat yang di tunggu-tunggu anak-anak. Biasanya kami pulkam bareng keluarga adik ke 7 yang sama-sama di Banda Aceh. Untuk menghemat biaya dan memudahkan transfortasi selama di sana, biasa kami menyewa mobil. Aku kurang mengingat kapan terakhir kali mamak lebaran bersama dengan kondisi prima. Dulu setiap kami pulkam lebaran Idul Fitri maka mamak akan menyambut dengan gembira. Mamak akan masak lontong, rendang dan kue-kue lebaran. Malam menjelang lebaran biasa mamak masih sibuk di dapur hingga larut malam. Dan pagi buta keesokan harinya mamaklah orang pertama yang bangun. Suamiku pernah bertanya "memang mamak kapan tidurnya?". Saat mamak masih ada jika akan piknik semua perbekalan keluarga besar kami mamaklah yang menyiapkannya.
Biasanya hari ke 2 lebaran kami mengunjungi abangnya bapak dan kakaknya bapak. Kami akan berangkat dengan rombongan biasanya ada 4 mobil. Kami makan siang di rumah abang bapak di desa Arul Kumer. Otomatis rumah pak Kul (panggilan untuk abang dari bapak) akan ramai seketika. Biasanya setelah makan siang dengan tambahan bekal yang mamak siapkan dari rumah, kami akan bersalam-salaman lalu setelahnya mulai bercerita dengan keluarga Pak Kul dan Mak Kul. Mamak sangat menikmati saat-saat seperti itu, mamak terkadang tertawa hingga mengeluarkan air mata. Saat kumpul dua keluarga besar pastinya rame dan heboh. Sepulang dari Arul Kumer kami akan ke rumah bibi yang merupakan kakak dari bapak kami. Rumahnya pas di pinggir danau Laut Tawar tepatnya desa Mendale. Disana biasanya kami tidak berlama karena fokus bapak mengunjungi makam kakek yang letaknya tidak jauh dari rumah bibi. Selanjutnya ke daerah Bintang mengunjungi makam ibunya bapak kami. Tempat makamnya sangat tinggi. Biasanya semak belukar memenuhi area makam. Kami tak bisa membayangkan bagaimana sulitnya membawa mayat ke tempat itu. Konon katanya semakin tinggi letak makam seseorang semakin tinggi tingkat srata sosialnya di masyarakat.
Bapak merupakan anak bungsu dari 3 bersaudara, 1 perempuan dan 2 laki-laki. Selebihnya ada 7 orang saudara beda ibu. Kakek memiliki 4 orang istri. Istri pertama yang merupakan ibu dari bapak kami. Nenek meninggal saat bapak masih bayi. Lalu kakek menikah lagi dengan seorang wanita dengan 1 orang anak. Rupanya umur pernikahannya tidak lama, mereka bercerai dengan 1 orang anak yang tidak jelas di mana keberadaanya. Kami tak ada seorangpun yang mengenal keluarga nenek yang ini. Lalu kakek menikah lagi dengan nenek ke 3. Mereka di karuniai 7 orang anak 2 perempuan 5 laki-laki. Nenek yang ke 3 ini semasa almarhum ibu masih ada setiap lebaran Idul Fitri kami mengunjungi mereka. Rumahnya melewati jembatan sungai Kanis. Jalannya naik hingga sampai di kampung Peking. Disanalah kakek nenek tinggal. Rombongan kami akan berjalan dengan gembira ke sana. Jembatan Kanis akan bergoyang-goyang saat kami lewati. Ukuran jembatan ya mungkin hanya sekitar 1 m yang membentang panjang tanpa ada sisi kanan kirinya. Bagi yang tidak terbiasa pasti akan ketakutan melewatinya. Arus airnya sangat deras.
Kami biasanya malah akan berlari-lari diatasnya agar jembatan kayu tersebut makin berayun-ayun. Kami rombongan cucunya dengan memakai baju dan sepatu baru dengan berbagai gaya mengikat rambut. Ada yang di kepang dua, ada yang di ikat satu, bahkan ada yang di gerai saja. Kami akan berjalan bahkan berlari sambil bermain dahulu mendahului siapa yang akan duluan sampai di rumah kakek. Ibu kami biasanya selalu membawa 1 rantang nasi dan lauk untuk diserahkan ke nenek. Uniknya setiap lebaran ke rumah kakek, kami akan bingung di mana pintunya. Kakek orang yang hobi memindah-mindahkan pintu rumah. Entah apa filosofinya.
Sejak aku masuk SD nenek ke 3 ini mulai agak kurang sehat. Kayaknya penyakit kejiwaan. Nenek ini sering lewat didepan sekolah kami dengan 2 orang anaknya yang paling kecil. Biasa nenek akan berjalan cepat sambil mengomel entah apa. Anak-anak SD akan berdiri di pinggir pagar sambil bersorak "orang gila... orang gila.... " Nenek dan anaknya makin mempercepat langkah mereka karena sorakan itu. Anak-anak sekolah akan berhenti bersorak jika nenek sudah melewati sekolah hingga menghilang di ujung jalan. Aku sendiri tidak faham mengapa nenek bisa seperti itu. Mereka entah pergi ke mana.
Dengan kondisi nenek yang seperti itu akhirnya kakek tidak ada yang mengurusnya. Kakek menikah lagi untuk ke 4 kalinya. Nenek ini merupakan janda beranak 3 kalau tidak salah. Hingga akhir hayatnya kakek hidup bersama nenek ke 4. Begitulah kisah almarhum kakek dari pihak bapak.
Semasa hidupnya kakek sering mampir ke rumah. Biasanya sendirian. Kakek selalu berpakaian rapi dan memakai peci hitam. Perawakannya lumayan tinggi dan kakek tidak bungkuk, masih nampak sehat dan gagah. Biasa bapak kalau ada kakek hanya menyapa seperlunya saja "ama". Hanya itu. Aku tidak pernah melihat bapak dan kakek duduk bercerita. Benar-benar hubungan yang sangat dingin.
Ama merupakan panggilan daerah kami untuk bapak. Ine merupakan panggilan daerah untuk ibu. Tapi saat ini sudah jarang yang memanggil orang tua mereka seperti itu.
Oya kembali ke mamak kami. Mamak adalah panggilan untuk mamak tiri kami. Ibu adalah panggilan untuk ibu kandung kami.
Jadi mamak pernah bercerita kalau saat kakek sakit di rumah sakit tidak ada yang menjaganya. Jarum transfusi darahnya terlepas dan darah berceceran di lantai. Mamak bilang "bapakmu tu gak ada setianya. " Yah begitulah sekilas kisah kakek. Kakek meninggal di rumah sakit Datu Beru dan pemakamannya di urus oleh kakak bapak yang paling besar. Aku yakin saat itu bapak pasti tidak menangis.
Apakah mamak pernah merasakan kegembiraan? Tentu saja pernah. Mamak senang sekali kalau kami ajak jalan-jalan. Kelurga besar kami biasanya piknik tu di hari ke 3 lebaran, mamak akan menyiapkan bekal kami terima beres saja. Seringnya kami piknik ke danau laut tawar. Sebelum pergi membeli ikan mujahir untuk di akar di tempat. Biasanya saat para menantu lelaki membersihkan ikan, kami para istri akan menyiapkan rujak ataupun sambal terasi dan rebusan labu jipang, wortel dan daun ubi. Selagi menunggu biasanya anak-anak akan mulai main air akhirnya mak-maknyapun ikut masuk ke air, alibinya menemani anak padahal memang pingin mandi di danau. Saat itu biasanya bapak dan mamak duduk di atas tikar di pinggir danau sambil ngemil dan memandangi kami yang main air dengan hebohnya. Senyum ceria terpampang nyata di setiap wajah. Giliran selesai mandi maka perutpun minta diisi. Jadilah kami makan bersama terkadang sambil bercanda dan rebutan ikan bakar yang gurih dan mengundang selera ditambah keindahan danau. Itulah salah satu nikmat di dunia.
Saat bapak mamak mengunjungi kami di Banda Aceh. Biasanya mereka juga datang rombongan naik mobil. Kamipun akan merencanakan jalan-jalan ke mana kita. Seringnya ke masjid raya, ke pantai dan tak lupa makan di cafe. Inilah momen saat mamak bahagia. Momen menikmati hidup dan kebersamaan keluarga. Momen saling bercerita dan bercanda.
Kapankah mamak bersedih? Jika kami akan balik ke Banda Aceh. Mamak akan memeluk kami semua serta melepas kami dengan deraian air mata. Kami berpamitan dengan menyalami mamak dan bapak. Saat itu mamak akan bercucuran air mata. Mamak akan memandangi kepergian kami hingga menghilang di ujung jalan. Rumah bapak mamak kembali sunyi dan sepi. Yah suatu saat nanti pasti kitapun akan merasakan moment seperti itu. Bukankah hidup ini akan bergulir dan berulang kejadian demi kejadian.
Pada suatu masa kakak menelpon katanya mamak kena struk, mulut mamak agak miring dan tangan kanan mamak juga menjadi kaku hingga mamak kesulitan saat makan. Saat itu mamak terpukul dengan kondisinya yang drop. Bapak bukannya menunjukkan rasa empatinya. Bapak malah membully mamak, "apa ni macam anak kecil", spontan bapak berucap. Tentu kakak pertama yang mendengar protes, kenapa bapak kayak gitu?.
Saat itu masih ada orang yang menemani mamak, bapak sudah berkata seperti itu entah lagi jika di rumah hanya ada mamak dan bapak saja mungkin akan keluar 'kata-kata mutiara yang lebih indah'. Mamak seringnya ditinggal sendirian di rumah. Bapak pergi entah ke mana bersama teman-temannya. Aku terkadang menelpon kata mamak dia lagi masak. Makin lama kondisi mamak semakin memburuk. Kaki mamak berlahan agak susah di bawa jalan, otomatis mamak jalan dengan terseok-seok dan kakinya agak diseret. Setelah di terapi mulut mamak tidak lagi miring, tapi sebelah tangan dan kakinya masih belum pulih. Makin hari badan mamak bertambah kurus. Mamak masih saja memaksakan diri untuk mengurus dirinya juga mengurus keperluan bapak. Saat itu kami sibuk dengan urusan keluarga kami masing-masing. Mungkin saat itu di hati mamak mulai muncul rasa tidak berguna dan rasa tidak lagi dibutuhkan. Kondisi mamak terus menurun hingga harus di rawat di rumah sakit Simpang Tiga Bener Meriah lalu di rujuk ke Rumah sakit Datu Beru. Saat itu tubuh mamak sudah kurus kering tak ada harapan yang optimis pada pandangan matanya. Mamak mulai meremas-remas ujung pakaiannya, seakan-akan ingin merobeknya. Bibi yang kebetulan menjaga mamak bertanya "Kenapa kakak robek pakaian kakak?.
" Nanti ada anakku belikan yang baru", jawab mamak.
Sebenarnya kata ibu mertuaku, jika ada orang yang sudah mulai merobek pakaian yang dia pakai itu merupakan pertanda bahwa kematiannya sudah dekat. Aku baru mengetahui hal semacam itu saat mamak sudah tiada.
Bersambung...

Tidak ada komentar: